Tulisan ini di muat di Harian Waspada, Medan pada tanggal 7 Maret 2017
Pendahuluan
Era globalisasi seperti sekarang ini memberikan dampak yang
signifikan terhadap berbagai sendi kehidupan termasuk sektor ekonomi. Globalisasi
memerankan peran yang sangat penting dalam perkembangan ekonomi karena tidak
ada lagi sekat-sekat secara geografis yang bisa menghalanginya. Artinya kegiatan
ekonomi tidak lagi dibatasi oleh geografis, bahasa, budaya dan idiologi akan
tetapi ia tergantung dari faktor yang saling membutuhkan dan bergantung satu
sama yang lainnya. Proses globalisasi ini semakin deras dan cepat karena
ditopang oleh teknologi informasi yang berkembang sedemikian cepatnya.
Kondisi seperti ini mau tidak mau mengharuskan kita melakukan
berbagai upaya agar mampu bersaing dengan baik khususnya dalam upaya
pengembangan sistem keuangan Islam (Islamic finance) di Indonesia. Pada
dasarnya sistem keuangan yang berlaku disuatu negara dipengaruhi oleh sistem
ekonomi yang dianut. Sistem ekonomi merupakan pandangan (world view)
sekelompok orang tentang kepemilikan, pemanfaatan maupun distribusi. Karena
sifatnya pandangan, maka keberadaannya tidaklah netral sehingga ketika ada
pertanyaan-pertanyaan seperti siapa saja yang berhak menguasai sumberdaya air,
sumberdaya hutan, energi dan lain sebagainya disuatu negara tentu akan
berbeda-beda jawabnya. Jawabanya tergantung pada cara pandang, agamanya serta
idiologi yang dianut dinegara tersebut. Jadi dapat dikatakan bahwa ilmu ekonomi
konvensional yang selama ini kita kenal lahir dari sistem ekonomi kapitalisme.
Begitu juga dengan ilmu ekonomi Islam, ia lahir dari sistem ekonomi Islam.
Keuangan Islam (Islamic finance) pada dasarnya merupakan
bagian dari ekonomi Islam, yang muncul karena berbagai faktor diantaranya
adalah adanya praktek keuangan konvensional yang melanggar hukum Islam karena mengandung
unsur riba, gharar dan maysir. Disamping itu yang melatar belakangi
lahirnya sistem keuangan Islam adalah pertama, keuangan konvensional
dianggap sebagai biang krisis keuangan global yang hampir terjadi setiap 10
tahun sekali. Kedua, sistem keuangan konvensional dianggap faktor pemicu
tingkat kesenjangan ekonomi antara orang kaya dengan orang miskin.
Seiring dengan globalisasi tersebut, praktek keuangan Islam juga mengalami
globalisasi. Dampak dari globalisasi tersebut adalah mengglobalnya sistem
keuangan Islam dan mendapatkan sambutan dari berbagai belahan dunia mulai dari
Eropa, Afrika, Amerika, Kanada, Australia dan Asia termasuk Indonesia.
Perbankan Syariah merupakan lembaga keuangan Islam yang paling populer diantara
lembaga keuangan Islam yang lainnya seperti Asuransi syariah, Multifinance
syariah dan Pasar Modal Syariah. Dalam Global Islamic Finance Report
tahun 2015 sebagaimana di release oleh Edbiz Consulting Limited menetapkan lima
kriteria keberhasilan suatu negara didalam menjalankan sistem keuangan Islam
yaitu Advocacy, Infrastructure, Human Resources, Linkages dan Regulation. Dari
kelima kriteria tersebut Indonesia di tetapkan sebagai Top 10 Centre of
Excellence in Islamic Banking and Finance, dimana Indonesia menempati
urutan ke-9 dari 10 Negara. Peringkat pertama di tempati oleh negara tetangga
yaitu Malasyia.
Sementara itu, dalam laporan World Islamic Banking
Competitiveness Report tahun 2016,
asset perbankan syariah mencapai USD 882 juta atau setara dengan IDR. 11.466
triliun, dimana market share dunia dikuasai oleh Saudi Arabia dengan pengasaan
market share sebesar 31,70%, di ikuti oleh Malaysia sebesar 16,70%, sedangkan
Indonesia hanya berhasil meraih market share sebesar 3,80% (urutan ke 7). Sekali
lagi Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia tertinggal dari negara
tetangga, Malaysia.
Daya Saing Islamic Finance di Indonesia
Islamic Finance khususnya
perbankan syariah mulai mendapatkan tempatnya di Indonesia ketika krisis
ekonomi menerpa Indonesia pada tahun 1998. Disaat hampir sebagian besar lembaga
keuangan konvensional kolaps pada saat krisis tersebut, namun Bank Muamalat
pada waktu itu sebagai satu-satunya perbankan syariah ternyata mampu bertahan
dari krisis keuangan global. Seiring perjalanan waktu, mulailah bermunculan
perbankan syariah yang lainnya baik dalam bentuk Bank Umum Syariah maupun Unit
Usaha Syariah.
Berdasarkan laporan dari Otoritas Jasa Keuangan pada November 2016,
jumlah Bank Umum Syariah saat ini mencapai 13 buah, dengan jumlah kantor sebanyak
1.854 buah, dimana jumlah tenaga kerja yang berhasil diserap sebanyak 51.129
orang. Sementara itu jumlah Unit Usaha Syariah hingga November 2016 mencapai 21
buah, dengan jumlah kantor sebanyak 322 buah dan jumlah tenaga kerja yang
berhasil diserap dari Unit Usaha Syariah ini mencapai 4.518 orang. Hingga hari
ini, jumlah keseluruhan Bank Syariah mencapai 34 unit, dengan jumlah kantornya
mencapai 2.167 buah sedangkan jumlah tenaga kerja yang berhasil diserap
sebanyak 55.647 orang dengan total asset mencopai 339,3 triliun.
Sementara itu Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) pada tahun 2016
mencapai 164 buah dengan jumlah kantor sebanyak 453 buah, dimana tenaga kerja
yang berhasil diserap sebanyak 4.379 orang. Sedangkan, Industri Keuangan Non
Bank Syariah (IKNB Syariah) yang terdiri dari Asuransi Syariah, Lembaga
Pembiayaan Syariah, Lembaga Jasa Keuangan Khusus Syariah dan Lembaga Keuangan
Mikro Syariah pada November 2016 jumlahnya mencapai 93 unit dengan total asset
mencapai 86,3 Triliun.
Jika dilihat dari perkembangan lembaga keuangan Islam baik
Perbankan maupun IKNB, mengalami pertumbuhan yang signifikan dibandingkan pada
awal-awal tahun 200-an. Akan tetapi Lembaga Keuangan Islam belum cukup tangguh
jika dihadapkan dengan lembaga keuangan konvensional. Pada tahun 2016,
Perbankan Syariah hanya mampu menguasai 4,83% dari total asset Perbankan
Nasional. Sementara itu asset Pembiyaan Syariah juga hanya mampu meraih pangsa
pasar sebesar 5,54% dari total asset pembiayaan nasional. Begitu juga dengan
market share Asuransi Syariah, yang hanya berhasil mencapai 5,42% dari total
asset asuransi nasional. Sedikit lebih baik adalah pangsa pasar Reksadana
syariah yang berhasil menembus 8,52% pangsa pasar nasional. Melihat kondisi
tersebut, sepertinya Islamic Finance kurang mendapat tempat di hati investor
dan nasabah lantaran kurang sexi sehingga kurang menarik.
Ada banyak faktor yang menjadi penyebab mengapa Islamic Finance
kurang menarik bagi investor dan nasabah sehingga mempengaruhi daya saing mereka,
diantaranya adalah rendahnya modal, terbatasnya produk yang ditawarkan, harga
kurang kompetitif, pelayanan kurang bagus, keterbatasan jaringan, peluang
investasi keuangan syariah juga terbatas. Berbicara mengenai keterbatasan
modal, sebenarnya ini sesuatu yang klasik dan hampir menjangkiti semua orang
termasuk sebuah lembaga sekelas Perbankan. Perbankan Syariah di Indoensia
selama ini dalam menghimpun dana maupun menyalurkan dananya lebih menyasar
kepada pelanggan yang religius daripada pelanggan yang rasional.
Pelanggan yang religius merupakan pelanggan yang menyakini bahwa
bunga bank adalah riba, dan ketika ada perbankan yang menawarkan jasa bebas
dari riba maka ia akan dengan senang hati untuk menerimanya. Berbeda halnya
dengan pelanggan yang rasional, ia akan lebih menekankan rasionalitasnya
daripada halal-haramnya. Logikanya, ketika pelanggan sudah yakin bahwa bunga
bank itu haram, maka seharusnya energi kita tidak perlu kita habiskan untuk
mengurusinya karena dengan sendirinya mereka akan mendatangi kita. Akan tetapi
yang perlu kita lakukan adalah bagaimana para calon nasabah yang lebih rasional
yang tidak memperdulikan apakah bunga bank halal atau haram, mereka lebih
cenderung akan memilih yang memberikan manfaat lebih besar untuk dirinya.
Kondisi seperti ini diperparah dengan kurang kompetitifnya harga
produk yang ditawarkan oleh perbankan syariah, bahkan dalam suatu forum pernah
dikatakan bahwa perbankan syariah lebih kejam daripada bank konvensional. Bagaimana
tidak, ia menawarkan sesuatu yang diluar logika bisa diterima oleh mereka yang
lebih menekankan rasionalitas daripada halal atau haram. Hal-hal seperti inilah
yang belum dipahami dengan baik oleh pegiat bank syariah, sehingga kesannya
pelaksanaan perbankan syariah selama ini lebih bersifat esklusif ketimbang
kompetitif.
Olehkarenya dalam penyaluran dananya perbankan syariah perlu
memperbaiki produknya agar lebih bisa diterima bagi kaum rasionalis dan
tentunya lebih kompetitif. Dalam perjalannya memang perbankan syariah pernah
beberapa kali merubah skema pembiayaan. Pada awal-awal berdirinya perbankan
syariah, mereka menerapkan skema pembiayaan dengan menggunakan konsep profit
and loss sharing, kemudian dirubah menjadi profit sharing saja. Selanjutnya,
entah saking takutnya dengan resiko yang dihadapi atau memang strategi yang
dianggap manjur, skema profit sharing pun dihilangkan hingga berubah
menjadi konsep murabahah. Justru dengan konsep murabahah-nya ini,
menurut saya perbankan syariah sudah meninggalkan identitasnya sebagai bank
bagi hasil dan justru ini menjadikan perbankan syariah lebih sulit untuk
bersaing. Ditambah lagi akhir-akhir ini terdapat adanya ketidakpercayaan
customer religius yang menjadi basis utama penggerak keuangan Islam terhadap
konsep yang dikembangkan oleh Lembaga Keuangan Islam khususnya Perbankan
Syariah. Hal ini menambah derita bagi pengembangan Islamic Finance di
Tanah air.
Penutup
Ketidakberdayaan Islamic Finance didalam menghadapi
persaingan sebenarnya bukanlah sesuatu yang perlu dicemaskan berlebihan,
lantaran keberadaan Islamic Fiancne ini terbilang memang masih sangat
muda dan masih butuh polesan disana sini sehingga ia mampu berevolusi menjadi
lembaga yang mempunyai daya saing yang bagus. Keuangan Konvensional saja
memerlukan waktu berpuluh-puluh tahun untuk berkembang hingga seperti sekarang
ini. Namun demikian janganlah ini dijadikan alasan ketidakberdayaan tersebut,
ingatlah bahwa umur suatu lembaga tidak menjamin kematangan dalam menghadapi
persaingan. Justru kondisi tersebut bisa dijadikan bahan renungan dan cambuk
untuk memperbaiki dan mempercantik diri sehingga kelihatan lebih sexy dan
menarik bagi investor dan nasabah.
Melihat kondisi seperti ini, pemerintah sebenarnya juga tidak
tinggal diam. Berbagai kebijakan diambil dalam rangka memajukan industri
keuangan syariah. Pemerintah dalam hal
ini Kementerian Keuangan mencoba untuk membuat roadmap syariah yang
berkaitan dengan strategi pengembangan Lembaga Keuangan Islam di tanah air. Ada
beberapa kebijakan yang coba dikembangkan diantaranya adalah memperkuat sinergi
kebijakan, memperkuat permodalan, memperbaiki struktur dana untuk mendukung
segmen pembiayaan, memperbaiki kualitas SDM, peningkatan supply and demand
produk.
Dari berbagai kebijakan tersebut, penulis berharap ada kebijakan
yang memang mempunyai dampak langsung terhadap perkembangan lembaga keuangan
Islam di tanah air. Selama ini kebijakan dalam pengembangan lembaga keuangan
Islam sifatnya hanya mendorong akan tetapi pemerintah tidak benar-benar
memberikan kebijakan yang dampaknya bisa dirasakan oleh para pelaku industri
keuangan syariah. Misalnya, kebijkan yang mendorong lembaga keuangan Islam
memperkuat modal sehingga mampu untuk bersaing secara kompetitif di pasar.
Kalau sifatnya hanya mendorong, siapapun bisa melakukan hal
tersebut. Tetapi yang diinginkan disini adalah adanya peran aktif pemerintah,
misalnya pemerintah melakukan penyertaan modal atau pemerintah membuat
kebijakan berkaitan langsung dengan salah satu kementerian, misalnya Kementerian
Agama. Seluruh anggaran untuk Kementerian Agama, baik untuk belanja rutin
maupun gaji pegawai harus melalui Bank Syaraih milik pemerintah. Dalam hal ini
bisa diwakili oleh BRI Syariah atau Bank Syariah Mandiri. Kebijakan ini akan
memberikan dampak secara langsung terhadap meningkatnya modal perbankan syariah
secara signifikan. Namun kebijakan ini jangan hanya sampai disini, tetapi
diikuti dengan kebijakan-kebijakan lainnya misalnya perbankan syariah juga
dilibatkan dalam projek-projek pembangunan nasional.
Sebagai pendatang baru dengan keterbatasan modal yang mereka miliki,
rasanya juga tidak pantas jika islamic finance menantang langsung (head
to head) secara frontal dengan lembaga keuangan konvensional, khususnya yang
berkaitan dengan harga produk, ini sama saja bunuh diri namanya. Apalagi ditahun
2017 ini, BRI sebagai salah satu bank konvensional bakal dibekali Pemerintah
untuk menyalurkan dana KUR super mikro dengan bunga 4,5%. Jelas ini merupakan
pukulan telak bagi Islamic Finance yang sedang mengembangkan usahanya
supaya kelihatan lebih sexy dan menarik bagi investor dan nasabah.
Oleh karenanya pemerintah perlu hati-hati terhadap kebijakan KUR
super mikro tersebut. Sebab kebijakan seperti ini bisa kontraproduktif dengan
rencana pengembangan Islamic Finance. Jika tidak dipikirkan dengan
baik-baik dan dicarikan solusinya justru ini akan mempercepat tumbangnya Islamic
Finance ditanah air. Untuk itu diperlukan singkronisasi kebijakan, sehingga
tidak mengganggu rencana pemerintah didalam pengembangan Islamic Finance di
tanah air. Harapannya adalah meningkatnya daya saing industri keuangan syariah
di tanah air yang pada gilirannya juga berimbas pada daya saing internasional.
Aamiin, Insya Allah.