Rabu, 08 Maret 2017

ISLAMIC FINANCE KURANG MENARIK BAGI INVESTOR DAN NASABAH ?




Tulisan ini di muat di Harian Waspada, Medan pada tanggal 7 Maret 2017 

Pendahuluan
Era globalisasi seperti sekarang ini memberikan dampak yang signifikan terhadap berbagai sendi kehidupan termasuk sektor ekonomi. Globalisasi memerankan peran yang sangat penting dalam perkembangan ekonomi karena tidak ada lagi sekat-sekat secara geografis yang bisa menghalanginya. Artinya kegiatan ekonomi tidak lagi dibatasi oleh geografis, bahasa, budaya dan idiologi akan tetapi ia tergantung dari faktor yang saling membutuhkan dan bergantung satu sama yang lainnya. Proses globalisasi ini semakin deras dan cepat karena ditopang oleh teknologi informasi yang berkembang sedemikian cepatnya.
Kondisi seperti ini mau tidak mau mengharuskan kita melakukan berbagai upaya agar mampu bersaing dengan baik khususnya dalam upaya pengembangan sistem keuangan Islam (Islamic finance) di Indonesia. Pada dasarnya sistem keuangan yang berlaku disuatu negara dipengaruhi oleh sistem ekonomi yang dianut. Sistem ekonomi merupakan pandangan (world view) sekelompok orang tentang kepemilikan, pemanfaatan maupun distribusi. Karena sifatnya pandangan, maka keberadaannya tidaklah netral sehingga ketika ada pertanyaan-pertanyaan seperti siapa saja yang berhak menguasai sumberdaya air, sumberdaya hutan, energi dan lain sebagainya disuatu negara tentu akan berbeda-beda jawabnya. Jawabanya tergantung pada cara pandang, agamanya serta idiologi yang dianut dinegara tersebut. Jadi dapat dikatakan bahwa ilmu ekonomi konvensional yang selama ini kita kenal lahir dari sistem ekonomi kapitalisme. Begitu juga dengan ilmu ekonomi Islam, ia lahir dari sistem ekonomi Islam.
Keuangan Islam (Islamic finance) pada dasarnya merupakan bagian dari ekonomi Islam, yang muncul karena berbagai faktor diantaranya adalah adanya praktek keuangan konvensional yang melanggar hukum Islam karena mengandung unsur riba, gharar dan maysir. Disamping itu yang melatar belakangi lahirnya sistem keuangan Islam adalah pertama, keuangan konvensional dianggap sebagai biang krisis keuangan global yang hampir terjadi setiap 10 tahun sekali. Kedua, sistem keuangan konvensional dianggap faktor pemicu tingkat kesenjangan ekonomi antara orang kaya dengan orang miskin.  
Seiring dengan globalisasi tersebut, praktek keuangan Islam juga mengalami globalisasi. Dampak dari globalisasi tersebut adalah mengglobalnya sistem keuangan Islam dan mendapatkan sambutan dari berbagai belahan dunia mulai dari Eropa, Afrika, Amerika, Kanada, Australia dan Asia termasuk Indonesia. Perbankan Syariah merupakan lembaga keuangan Islam yang paling populer diantara lembaga keuangan Islam yang lainnya seperti Asuransi syariah, Multifinance syariah dan Pasar Modal Syariah. Dalam Global Islamic Finance Report tahun 2015 sebagaimana di release oleh Edbiz Consulting Limited menetapkan lima kriteria keberhasilan suatu negara didalam menjalankan sistem keuangan Islam yaitu Advocacy, Infrastructure, Human Resources, Linkages dan Regulation. Dari kelima kriteria tersebut Indonesia di tetapkan sebagai Top 10 Centre of Excellence in Islamic Banking and Finance, dimana Indonesia menempati urutan ke-9 dari 10 Negara. Peringkat pertama di tempati oleh negara tetangga yaitu Malasyia.
Sementara itu, dalam laporan World Islamic Banking Competitiveness Report  tahun 2016, asset perbankan syariah mencapai USD 882 juta atau setara dengan IDR. 11.466 triliun, dimana market share dunia dikuasai oleh Saudi Arabia dengan pengasaan market share sebesar 31,70%, di ikuti oleh Malaysia sebesar 16,70%, sedangkan Indonesia hanya berhasil meraih market share sebesar 3,80% (urutan ke 7). Sekali lagi Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia tertinggal dari negara tetangga, Malaysia.

Daya Saing Islamic Finance di Indonesia
Islamic Finance khususnya perbankan syariah mulai mendapatkan tempatnya di Indonesia ketika krisis ekonomi menerpa Indonesia pada tahun 1998. Disaat hampir sebagian besar lembaga keuangan konvensional kolaps pada saat krisis tersebut, namun Bank Muamalat pada waktu itu sebagai satu-satunya perbankan syariah ternyata mampu bertahan dari krisis keuangan global. Seiring perjalanan waktu, mulailah bermunculan perbankan syariah yang lainnya baik dalam bentuk Bank Umum Syariah maupun Unit Usaha Syariah.
Berdasarkan laporan dari Otoritas Jasa Keuangan pada November 2016, jumlah Bank Umum Syariah saat ini mencapai 13 buah, dengan jumlah kantor sebanyak 1.854 buah, dimana jumlah tenaga kerja yang berhasil diserap sebanyak 51.129 orang. Sementara itu jumlah Unit Usaha Syariah hingga November 2016 mencapai 21 buah, dengan jumlah kantor sebanyak 322 buah dan jumlah tenaga kerja yang berhasil diserap dari Unit Usaha Syariah ini mencapai 4.518 orang. Hingga hari ini, jumlah keseluruhan Bank Syariah mencapai 34 unit, dengan jumlah kantornya mencapai 2.167 buah sedangkan jumlah tenaga kerja yang berhasil diserap sebanyak 55.647 orang dengan total asset mencopai 339,3 triliun.
Sementara itu Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) pada tahun 2016 mencapai 164 buah dengan jumlah kantor sebanyak 453 buah, dimana tenaga kerja yang berhasil diserap sebanyak 4.379 orang. Sedangkan, Industri Keuangan Non Bank Syariah (IKNB Syariah) yang terdiri dari Asuransi Syariah, Lembaga Pembiayaan Syariah, Lembaga Jasa Keuangan Khusus Syariah dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah pada November 2016 jumlahnya mencapai 93 unit dengan total asset mencapai 86,3 Triliun.
Jika dilihat dari perkembangan lembaga keuangan Islam baik Perbankan maupun IKNB, mengalami pertumbuhan yang signifikan dibandingkan pada awal-awal tahun 200-an. Akan tetapi Lembaga Keuangan Islam belum cukup tangguh jika dihadapkan dengan lembaga keuangan konvensional. Pada tahun 2016, Perbankan Syariah hanya mampu menguasai 4,83% dari total asset Perbankan Nasional. Sementara itu asset Pembiyaan Syariah juga hanya mampu meraih pangsa pasar sebesar 5,54% dari total asset pembiayaan nasional. Begitu juga dengan market share Asuransi Syariah, yang hanya berhasil mencapai 5,42% dari total asset asuransi nasional. Sedikit lebih baik adalah pangsa pasar Reksadana syariah yang berhasil menembus 8,52% pangsa pasar nasional. Melihat kondisi tersebut, sepertinya Islamic Finance kurang mendapat tempat di hati investor dan nasabah lantaran kurang sexi sehingga kurang menarik.
Ada banyak faktor yang menjadi penyebab mengapa Islamic Finance kurang menarik bagi investor dan nasabah sehingga mempengaruhi daya saing mereka, diantaranya adalah rendahnya modal, terbatasnya produk yang ditawarkan, harga kurang kompetitif, pelayanan kurang bagus, keterbatasan jaringan, peluang investasi keuangan syariah juga terbatas. Berbicara mengenai keterbatasan modal, sebenarnya ini sesuatu yang klasik dan hampir menjangkiti semua orang termasuk sebuah lembaga sekelas Perbankan. Perbankan Syariah di Indoensia selama ini dalam menghimpun dana maupun menyalurkan dananya lebih menyasar kepada pelanggan yang religius daripada pelanggan yang rasional.
Pelanggan yang religius merupakan pelanggan yang menyakini bahwa bunga bank adalah riba, dan ketika ada perbankan yang menawarkan jasa bebas dari riba maka ia akan dengan senang hati untuk menerimanya. Berbeda halnya dengan pelanggan yang rasional, ia akan lebih menekankan rasionalitasnya daripada halal-haramnya. Logikanya, ketika pelanggan sudah yakin bahwa bunga bank itu haram, maka seharusnya energi kita tidak perlu kita habiskan untuk mengurusinya karena dengan sendirinya mereka akan mendatangi kita. Akan tetapi yang perlu kita lakukan adalah bagaimana para calon nasabah yang lebih rasional yang tidak memperdulikan apakah bunga bank halal atau haram, mereka lebih cenderung akan memilih yang memberikan manfaat lebih besar untuk dirinya.
Kondisi seperti ini diperparah dengan kurang kompetitifnya harga produk yang ditawarkan oleh perbankan syariah, bahkan dalam suatu forum pernah dikatakan bahwa perbankan syariah lebih kejam daripada bank konvensional. Bagaimana tidak, ia menawarkan sesuatu yang diluar logika bisa diterima oleh mereka yang lebih menekankan rasionalitas daripada halal atau haram. Hal-hal seperti inilah yang belum dipahami dengan baik oleh pegiat bank syariah, sehingga kesannya pelaksanaan perbankan syariah selama ini lebih bersifat esklusif ketimbang kompetitif.
Olehkarenya dalam penyaluran dananya perbankan syariah perlu memperbaiki produknya agar lebih bisa diterima bagi kaum rasionalis dan tentunya lebih kompetitif. Dalam perjalannya memang perbankan syariah pernah beberapa kali merubah skema pembiayaan. Pada awal-awal berdirinya perbankan syariah, mereka menerapkan skema pembiayaan dengan menggunakan konsep profit and loss sharing, kemudian dirubah menjadi profit sharing saja. Selanjutnya, entah saking takutnya dengan resiko yang dihadapi atau memang strategi yang dianggap manjur, skema profit sharing pun dihilangkan hingga berubah menjadi konsep murabahah. Justru dengan konsep murabahah-nya ini, menurut saya perbankan syariah sudah meninggalkan identitasnya sebagai bank bagi hasil dan justru ini menjadikan perbankan syariah lebih sulit untuk bersaing. Ditambah lagi akhir-akhir ini terdapat adanya ketidakpercayaan customer religius yang menjadi basis utama penggerak keuangan Islam terhadap konsep yang dikembangkan oleh Lembaga Keuangan Islam khususnya Perbankan Syariah. Hal ini menambah derita bagi pengembangan Islamic Finance di Tanah air.

Penutup
Ketidakberdayaan Islamic Finance didalam menghadapi persaingan sebenarnya bukanlah sesuatu yang perlu dicemaskan berlebihan, lantaran keberadaan Islamic Fiancne ini terbilang memang masih sangat muda dan masih butuh polesan disana sini sehingga ia mampu berevolusi menjadi lembaga yang mempunyai daya saing yang bagus. Keuangan Konvensional saja memerlukan waktu berpuluh-puluh tahun untuk berkembang hingga seperti sekarang ini. Namun demikian janganlah ini dijadikan alasan ketidakberdayaan tersebut, ingatlah bahwa umur suatu lembaga tidak menjamin kematangan dalam menghadapi persaingan. Justru kondisi tersebut bisa dijadikan bahan renungan dan cambuk untuk memperbaiki dan mempercantik diri sehingga kelihatan lebih sexy dan menarik bagi investor dan nasabah.
Melihat kondisi seperti ini, pemerintah sebenarnya juga tidak tinggal diam. Berbagai kebijakan diambil dalam rangka memajukan industri keuangan syariah.  Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan mencoba untuk membuat roadmap syariah yang berkaitan dengan strategi pengembangan Lembaga Keuangan Islam di tanah air. Ada beberapa kebijakan yang coba dikembangkan diantaranya adalah memperkuat sinergi kebijakan, memperkuat permodalan, memperbaiki struktur dana untuk mendukung segmen pembiayaan, memperbaiki kualitas SDM, peningkatan supply and demand produk.
Dari berbagai kebijakan tersebut, penulis berharap ada kebijakan yang memang mempunyai dampak langsung terhadap perkembangan lembaga keuangan Islam di tanah air. Selama ini kebijakan dalam pengembangan lembaga keuangan Islam sifatnya hanya mendorong akan tetapi pemerintah tidak benar-benar memberikan kebijakan yang dampaknya bisa dirasakan oleh para pelaku industri keuangan syariah. Misalnya, kebijkan yang mendorong lembaga keuangan Islam memperkuat modal sehingga mampu untuk bersaing secara kompetitif di pasar.
Kalau sifatnya hanya mendorong, siapapun bisa melakukan hal tersebut. Tetapi yang diinginkan disini adalah adanya peran aktif pemerintah, misalnya pemerintah melakukan penyertaan modal atau pemerintah membuat kebijakan berkaitan langsung dengan salah satu kementerian, misalnya Kementerian Agama. Seluruh anggaran untuk Kementerian Agama, baik untuk belanja rutin maupun gaji pegawai harus melalui Bank Syaraih milik pemerintah. Dalam hal ini bisa diwakili oleh BRI Syariah atau Bank Syariah Mandiri. Kebijakan ini akan memberikan dampak secara langsung terhadap meningkatnya modal perbankan syariah secara signifikan. Namun kebijakan ini jangan hanya sampai disini, tetapi diikuti dengan kebijakan-kebijakan lainnya misalnya perbankan syariah juga dilibatkan dalam projek-projek pembangunan nasional.
Sebagai pendatang baru dengan keterbatasan modal yang mereka miliki, rasanya juga tidak pantas jika islamic finance menantang langsung (head to head) secara frontal dengan lembaga keuangan konvensional, khususnya yang berkaitan dengan harga produk, ini sama saja bunuh diri namanya. Apalagi ditahun 2017 ini, BRI sebagai salah satu bank konvensional bakal dibekali Pemerintah untuk menyalurkan dana KUR super mikro dengan bunga 4,5%. Jelas ini merupakan pukulan telak bagi Islamic Finance yang sedang mengembangkan usahanya supaya kelihatan lebih sexy dan menarik bagi investor dan nasabah.
Oleh karenanya pemerintah perlu hati-hati terhadap kebijakan KUR super mikro tersebut. Sebab kebijakan seperti ini bisa kontraproduktif dengan rencana pengembangan Islamic Finance. Jika tidak dipikirkan dengan baik-baik dan dicarikan solusinya justru ini akan mempercepat tumbangnya Islamic Finance ditanah air. Untuk itu diperlukan singkronisasi kebijakan, sehingga tidak mengganggu rencana pemerintah didalam pengembangan Islamic Finance di tanah air. Harapannya adalah meningkatnya daya saing industri keuangan syariah di tanah air yang pada gilirannya juga berimbas pada daya saing internasional. Aamiin, Insya Allah.