Rabu, 08 Maret 2017

ISLAMIC FINANCE KURANG MENARIK BAGI INVESTOR DAN NASABAH ?




Tulisan ini di muat di Harian Waspada, Medan pada tanggal 7 Maret 2017 

Pendahuluan
Era globalisasi seperti sekarang ini memberikan dampak yang signifikan terhadap berbagai sendi kehidupan termasuk sektor ekonomi. Globalisasi memerankan peran yang sangat penting dalam perkembangan ekonomi karena tidak ada lagi sekat-sekat secara geografis yang bisa menghalanginya. Artinya kegiatan ekonomi tidak lagi dibatasi oleh geografis, bahasa, budaya dan idiologi akan tetapi ia tergantung dari faktor yang saling membutuhkan dan bergantung satu sama yang lainnya. Proses globalisasi ini semakin deras dan cepat karena ditopang oleh teknologi informasi yang berkembang sedemikian cepatnya.
Kondisi seperti ini mau tidak mau mengharuskan kita melakukan berbagai upaya agar mampu bersaing dengan baik khususnya dalam upaya pengembangan sistem keuangan Islam (Islamic finance) di Indonesia. Pada dasarnya sistem keuangan yang berlaku disuatu negara dipengaruhi oleh sistem ekonomi yang dianut. Sistem ekonomi merupakan pandangan (world view) sekelompok orang tentang kepemilikan, pemanfaatan maupun distribusi. Karena sifatnya pandangan, maka keberadaannya tidaklah netral sehingga ketika ada pertanyaan-pertanyaan seperti siapa saja yang berhak menguasai sumberdaya air, sumberdaya hutan, energi dan lain sebagainya disuatu negara tentu akan berbeda-beda jawabnya. Jawabanya tergantung pada cara pandang, agamanya serta idiologi yang dianut dinegara tersebut. Jadi dapat dikatakan bahwa ilmu ekonomi konvensional yang selama ini kita kenal lahir dari sistem ekonomi kapitalisme. Begitu juga dengan ilmu ekonomi Islam, ia lahir dari sistem ekonomi Islam.
Keuangan Islam (Islamic finance) pada dasarnya merupakan bagian dari ekonomi Islam, yang muncul karena berbagai faktor diantaranya adalah adanya praktek keuangan konvensional yang melanggar hukum Islam karena mengandung unsur riba, gharar dan maysir. Disamping itu yang melatar belakangi lahirnya sistem keuangan Islam adalah pertama, keuangan konvensional dianggap sebagai biang krisis keuangan global yang hampir terjadi setiap 10 tahun sekali. Kedua, sistem keuangan konvensional dianggap faktor pemicu tingkat kesenjangan ekonomi antara orang kaya dengan orang miskin.  
Seiring dengan globalisasi tersebut, praktek keuangan Islam juga mengalami globalisasi. Dampak dari globalisasi tersebut adalah mengglobalnya sistem keuangan Islam dan mendapatkan sambutan dari berbagai belahan dunia mulai dari Eropa, Afrika, Amerika, Kanada, Australia dan Asia termasuk Indonesia. Perbankan Syariah merupakan lembaga keuangan Islam yang paling populer diantara lembaga keuangan Islam yang lainnya seperti Asuransi syariah, Multifinance syariah dan Pasar Modal Syariah. Dalam Global Islamic Finance Report tahun 2015 sebagaimana di release oleh Edbiz Consulting Limited menetapkan lima kriteria keberhasilan suatu negara didalam menjalankan sistem keuangan Islam yaitu Advocacy, Infrastructure, Human Resources, Linkages dan Regulation. Dari kelima kriteria tersebut Indonesia di tetapkan sebagai Top 10 Centre of Excellence in Islamic Banking and Finance, dimana Indonesia menempati urutan ke-9 dari 10 Negara. Peringkat pertama di tempati oleh negara tetangga yaitu Malasyia.
Sementara itu, dalam laporan World Islamic Banking Competitiveness Report  tahun 2016, asset perbankan syariah mencapai USD 882 juta atau setara dengan IDR. 11.466 triliun, dimana market share dunia dikuasai oleh Saudi Arabia dengan pengasaan market share sebesar 31,70%, di ikuti oleh Malaysia sebesar 16,70%, sedangkan Indonesia hanya berhasil meraih market share sebesar 3,80% (urutan ke 7). Sekali lagi Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia tertinggal dari negara tetangga, Malaysia.

Daya Saing Islamic Finance di Indonesia
Islamic Finance khususnya perbankan syariah mulai mendapatkan tempatnya di Indonesia ketika krisis ekonomi menerpa Indonesia pada tahun 1998. Disaat hampir sebagian besar lembaga keuangan konvensional kolaps pada saat krisis tersebut, namun Bank Muamalat pada waktu itu sebagai satu-satunya perbankan syariah ternyata mampu bertahan dari krisis keuangan global. Seiring perjalanan waktu, mulailah bermunculan perbankan syariah yang lainnya baik dalam bentuk Bank Umum Syariah maupun Unit Usaha Syariah.
Berdasarkan laporan dari Otoritas Jasa Keuangan pada November 2016, jumlah Bank Umum Syariah saat ini mencapai 13 buah, dengan jumlah kantor sebanyak 1.854 buah, dimana jumlah tenaga kerja yang berhasil diserap sebanyak 51.129 orang. Sementara itu jumlah Unit Usaha Syariah hingga November 2016 mencapai 21 buah, dengan jumlah kantor sebanyak 322 buah dan jumlah tenaga kerja yang berhasil diserap dari Unit Usaha Syariah ini mencapai 4.518 orang. Hingga hari ini, jumlah keseluruhan Bank Syariah mencapai 34 unit, dengan jumlah kantornya mencapai 2.167 buah sedangkan jumlah tenaga kerja yang berhasil diserap sebanyak 55.647 orang dengan total asset mencopai 339,3 triliun.
Sementara itu Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) pada tahun 2016 mencapai 164 buah dengan jumlah kantor sebanyak 453 buah, dimana tenaga kerja yang berhasil diserap sebanyak 4.379 orang. Sedangkan, Industri Keuangan Non Bank Syariah (IKNB Syariah) yang terdiri dari Asuransi Syariah, Lembaga Pembiayaan Syariah, Lembaga Jasa Keuangan Khusus Syariah dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah pada November 2016 jumlahnya mencapai 93 unit dengan total asset mencapai 86,3 Triliun.
Jika dilihat dari perkembangan lembaga keuangan Islam baik Perbankan maupun IKNB, mengalami pertumbuhan yang signifikan dibandingkan pada awal-awal tahun 200-an. Akan tetapi Lembaga Keuangan Islam belum cukup tangguh jika dihadapkan dengan lembaga keuangan konvensional. Pada tahun 2016, Perbankan Syariah hanya mampu menguasai 4,83% dari total asset Perbankan Nasional. Sementara itu asset Pembiyaan Syariah juga hanya mampu meraih pangsa pasar sebesar 5,54% dari total asset pembiayaan nasional. Begitu juga dengan market share Asuransi Syariah, yang hanya berhasil mencapai 5,42% dari total asset asuransi nasional. Sedikit lebih baik adalah pangsa pasar Reksadana syariah yang berhasil menembus 8,52% pangsa pasar nasional. Melihat kondisi tersebut, sepertinya Islamic Finance kurang mendapat tempat di hati investor dan nasabah lantaran kurang sexi sehingga kurang menarik.
Ada banyak faktor yang menjadi penyebab mengapa Islamic Finance kurang menarik bagi investor dan nasabah sehingga mempengaruhi daya saing mereka, diantaranya adalah rendahnya modal, terbatasnya produk yang ditawarkan, harga kurang kompetitif, pelayanan kurang bagus, keterbatasan jaringan, peluang investasi keuangan syariah juga terbatas. Berbicara mengenai keterbatasan modal, sebenarnya ini sesuatu yang klasik dan hampir menjangkiti semua orang termasuk sebuah lembaga sekelas Perbankan. Perbankan Syariah di Indoensia selama ini dalam menghimpun dana maupun menyalurkan dananya lebih menyasar kepada pelanggan yang religius daripada pelanggan yang rasional.
Pelanggan yang religius merupakan pelanggan yang menyakini bahwa bunga bank adalah riba, dan ketika ada perbankan yang menawarkan jasa bebas dari riba maka ia akan dengan senang hati untuk menerimanya. Berbeda halnya dengan pelanggan yang rasional, ia akan lebih menekankan rasionalitasnya daripada halal-haramnya. Logikanya, ketika pelanggan sudah yakin bahwa bunga bank itu haram, maka seharusnya energi kita tidak perlu kita habiskan untuk mengurusinya karena dengan sendirinya mereka akan mendatangi kita. Akan tetapi yang perlu kita lakukan adalah bagaimana para calon nasabah yang lebih rasional yang tidak memperdulikan apakah bunga bank halal atau haram, mereka lebih cenderung akan memilih yang memberikan manfaat lebih besar untuk dirinya.
Kondisi seperti ini diperparah dengan kurang kompetitifnya harga produk yang ditawarkan oleh perbankan syariah, bahkan dalam suatu forum pernah dikatakan bahwa perbankan syariah lebih kejam daripada bank konvensional. Bagaimana tidak, ia menawarkan sesuatu yang diluar logika bisa diterima oleh mereka yang lebih menekankan rasionalitas daripada halal atau haram. Hal-hal seperti inilah yang belum dipahami dengan baik oleh pegiat bank syariah, sehingga kesannya pelaksanaan perbankan syariah selama ini lebih bersifat esklusif ketimbang kompetitif.
Olehkarenya dalam penyaluran dananya perbankan syariah perlu memperbaiki produknya agar lebih bisa diterima bagi kaum rasionalis dan tentunya lebih kompetitif. Dalam perjalannya memang perbankan syariah pernah beberapa kali merubah skema pembiayaan. Pada awal-awal berdirinya perbankan syariah, mereka menerapkan skema pembiayaan dengan menggunakan konsep profit and loss sharing, kemudian dirubah menjadi profit sharing saja. Selanjutnya, entah saking takutnya dengan resiko yang dihadapi atau memang strategi yang dianggap manjur, skema profit sharing pun dihilangkan hingga berubah menjadi konsep murabahah. Justru dengan konsep murabahah-nya ini, menurut saya perbankan syariah sudah meninggalkan identitasnya sebagai bank bagi hasil dan justru ini menjadikan perbankan syariah lebih sulit untuk bersaing. Ditambah lagi akhir-akhir ini terdapat adanya ketidakpercayaan customer religius yang menjadi basis utama penggerak keuangan Islam terhadap konsep yang dikembangkan oleh Lembaga Keuangan Islam khususnya Perbankan Syariah. Hal ini menambah derita bagi pengembangan Islamic Finance di Tanah air.

Penutup
Ketidakberdayaan Islamic Finance didalam menghadapi persaingan sebenarnya bukanlah sesuatu yang perlu dicemaskan berlebihan, lantaran keberadaan Islamic Fiancne ini terbilang memang masih sangat muda dan masih butuh polesan disana sini sehingga ia mampu berevolusi menjadi lembaga yang mempunyai daya saing yang bagus. Keuangan Konvensional saja memerlukan waktu berpuluh-puluh tahun untuk berkembang hingga seperti sekarang ini. Namun demikian janganlah ini dijadikan alasan ketidakberdayaan tersebut, ingatlah bahwa umur suatu lembaga tidak menjamin kematangan dalam menghadapi persaingan. Justru kondisi tersebut bisa dijadikan bahan renungan dan cambuk untuk memperbaiki dan mempercantik diri sehingga kelihatan lebih sexy dan menarik bagi investor dan nasabah.
Melihat kondisi seperti ini, pemerintah sebenarnya juga tidak tinggal diam. Berbagai kebijakan diambil dalam rangka memajukan industri keuangan syariah.  Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan mencoba untuk membuat roadmap syariah yang berkaitan dengan strategi pengembangan Lembaga Keuangan Islam di tanah air. Ada beberapa kebijakan yang coba dikembangkan diantaranya adalah memperkuat sinergi kebijakan, memperkuat permodalan, memperbaiki struktur dana untuk mendukung segmen pembiayaan, memperbaiki kualitas SDM, peningkatan supply and demand produk.
Dari berbagai kebijakan tersebut, penulis berharap ada kebijakan yang memang mempunyai dampak langsung terhadap perkembangan lembaga keuangan Islam di tanah air. Selama ini kebijakan dalam pengembangan lembaga keuangan Islam sifatnya hanya mendorong akan tetapi pemerintah tidak benar-benar memberikan kebijakan yang dampaknya bisa dirasakan oleh para pelaku industri keuangan syariah. Misalnya, kebijkan yang mendorong lembaga keuangan Islam memperkuat modal sehingga mampu untuk bersaing secara kompetitif di pasar.
Kalau sifatnya hanya mendorong, siapapun bisa melakukan hal tersebut. Tetapi yang diinginkan disini adalah adanya peran aktif pemerintah, misalnya pemerintah melakukan penyertaan modal atau pemerintah membuat kebijakan berkaitan langsung dengan salah satu kementerian, misalnya Kementerian Agama. Seluruh anggaran untuk Kementerian Agama, baik untuk belanja rutin maupun gaji pegawai harus melalui Bank Syaraih milik pemerintah. Dalam hal ini bisa diwakili oleh BRI Syariah atau Bank Syariah Mandiri. Kebijakan ini akan memberikan dampak secara langsung terhadap meningkatnya modal perbankan syariah secara signifikan. Namun kebijakan ini jangan hanya sampai disini, tetapi diikuti dengan kebijakan-kebijakan lainnya misalnya perbankan syariah juga dilibatkan dalam projek-projek pembangunan nasional.
Sebagai pendatang baru dengan keterbatasan modal yang mereka miliki, rasanya juga tidak pantas jika islamic finance menantang langsung (head to head) secara frontal dengan lembaga keuangan konvensional, khususnya yang berkaitan dengan harga produk, ini sama saja bunuh diri namanya. Apalagi ditahun 2017 ini, BRI sebagai salah satu bank konvensional bakal dibekali Pemerintah untuk menyalurkan dana KUR super mikro dengan bunga 4,5%. Jelas ini merupakan pukulan telak bagi Islamic Finance yang sedang mengembangkan usahanya supaya kelihatan lebih sexy dan menarik bagi investor dan nasabah.
Oleh karenanya pemerintah perlu hati-hati terhadap kebijakan KUR super mikro tersebut. Sebab kebijakan seperti ini bisa kontraproduktif dengan rencana pengembangan Islamic Finance. Jika tidak dipikirkan dengan baik-baik dan dicarikan solusinya justru ini akan mempercepat tumbangnya Islamic Finance ditanah air. Untuk itu diperlukan singkronisasi kebijakan, sehingga tidak mengganggu rencana pemerintah didalam pengembangan Islamic Finance di tanah air. Harapannya adalah meningkatnya daya saing industri keuangan syariah di tanah air yang pada gilirannya juga berimbas pada daya saing internasional. Aamiin, Insya Allah.


Minggu, 26 Februari 2017

KEMISKINAN, KETIMPANGAN, PENGANGGURAN DAN PILKADA

Tulisan ini dimuat di koran Waspada Medan, Tanggal 17 Februari 2017

Pendahuluan
Bagi negara-negara berkembang (dahulu sebutan negara berkembang adalah negara miskin dan negera terbelakang), kemiskinan merupakan isu utama yang selalu menjadi pembahasan dari tahun ketahun. Kemiskinan seolah-olah menjadi momok yang selalui menghantui pemerintah termasuk di negara kita, Indonesia. Betapa tidak, dinegara yang kaya akan sumberdaya alam ini ternyata masih terdapat banyak masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan.
Konsepsi tentang kemiskinan disuatu tempat mempunyai konsep yang berbeda, namun pada dasarnya kemiskian itu identik dengan kekurangan materi dan rendahnya pendapatan. Sehingga kemiskinan mempunyai hubungan yang erat dengan pengangguran, karena ketika seseorang tidak mempunyai pekerjaan maka secara otomatis ia tidak akan mendapatkan pendapatan. Bank Dunia memberikan standar mengenai kemiskian berdasarkan daya beli paritas (Purchasing Power Parity-PPP) dimana seseorang dikatakan miskin apabila tidak bisa memenuhi kebutuhannya kurang dari USD 1,25 perhari dan kurang dari USD 2 perhari.
Ada banyak penyebab terjadinya kemiskinan diantaranya adalah rendahnya akses terhadap kesempatan kerja (rendahnya pendidikan, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak), tidak tersedianya lapangan pekerjaan, banyaknya korupsi, terbatasnya akses informasi, terbatasnya akses modal dan lain sebagainya. Namun secara konseptual kemiskinan disebabkan oleh empat faktor yaitu faktor individu, faktor sosial, faktor kultural dan faktor struktural.
Indek pembangunan manusia (IPM) merupakah salah satu tolak ukur keberhasilan suatu daerah didalam membangun daerahnya. IPM ini menggambarkan tingkat kualitas hidup sekaligus kemampuan (capability) manusia, semakin rendah IPM disuatu wilayah menunjukkan bahwa kesejahteraan masyarakatnya masih memprihatinkan dalam arti kata masyarakatnya masih hidup dibawah garis kemiskinan. IPM diukur dari tiga dimensi yaitu panjang umur dan sehat, akses terhadap pengetahuan dan standar hidup layak.
Berdasarkan laporan UNDP (United Nations Development Programme) , IPM Indonesia berada diurutan diatas angka 100 dari 177 negara, jauh tertinggal jika dibandingkan dengan Singapura (25), Brunei Darussalam (30, Malaysia (63) bahkan negara kita kalah dengan filipina yang berada di posisi 90. Sementara itu Vietnam juga sudah mulai memperbaiki posisinya (105) dan bukan tidak mungkin akan menyodok Indonesia.


Kemiskinan, Ketimpangan dan Pengangguran
Di Indonesia tingkat kemiskinan hampir merata terjadi disetiap provinsi. Pada awal-awal tahun 1990-an, tingkat kemiskinan terparah terjadi di Provinsi Kalimantan Barat yakni sebesar 27,6 persen, kemudian diikuiti oleh NTT sebesar 24,1 persen dan NTB sebesar 23,2 persen. Sementara itu tingkat kemiskinan paling rendah terdapat di DKI Jakarta yakni sebesar 7,8 persen, kemudian diikuti oleh Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 10,8 persen dan Bali sebesar 11,2 persen (Pada tahun tersebut, laporan tidak tersedia bagi Provinsi Papua). Setelah satu dasawarsa lebih, terjadi perubahan dibeberapa daerah persentase tingkat kemiskinan. Prestasi luar biasa dicapai oleh Provinsi yang berada di Pulau Kalimantan, dimana tingkat kemiskinan diawal tahun 1990-an berada di atas angka 20 persen, pada SUSENAS tahun 2015 angka kemiskinan turun dratis dibawah 10 persen, bahkan ada dua provinsi di Pulau Kalimantan yaitu Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan berhasil menekan angka kemiskinan masing 5,94 persen dan 4,99 persen. Namun, ada beberapa provinsi yang hanya sedikit mangalami perubahan angka garis kemiskinan dan bahkan ada yang justru bertambah tinggi angka garis kemiskinan seperti provinsi NAD.
Dari data SUSENAS tersebut juga terlihat indeks kedalaman kemisninan (P1) dan indeks keparahan kemiskinan (P2). indeks kedalaman kemisninan (P1) menunjukkan bahwa rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap batas miskin (Garis Kemiskinan yang berlaku di suatu Negarea). Sedangkan indeks keparahan kemiskinan (P2) menunjukkan ketimpangan pengeluaran dari penduduk yang paling miskin atau yang makin jauh dari garis kemiskinan yang berlaku. Dari tersebut terlihat bahwa kesenjangan pengeluaran hampir merata di setiap Pulau di Indonseia, dimana tingkat keparahan terjadi di Pulau Papua.
Tingkat kemiskinan yang berbeda pada setiap provinsi disebabkan oleh banyak hal seperti laju pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, keterbukaan terhadap investasi dan lain-lain. Pertumbuhan ekonomi merupakan penyumbang terbesar didalam mengentaskan kemiskinan. Salah Satu toal ukur pertumbuhan ekonomi adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Sebagaimana dalam laporan BPS Pada triwulan II 2016, Pulai Jawa masih merupakan penyumbang PDB terbesar secara Nasional yakni sebesar 58,81 persen, kemudian diikuti oleh Pulau Sumatera sebesar 22,02 persen, Pulau Kalimantan sebesar 7,61 persen, Pulau Sulawesi 6,08 persen dan sisanya 5,48 persen di pulau-pulau lainnya.
Selain kemiskinan, ketimpangan ekonomi juga melanda disebagian besar wilayah Indonesia. Ketimpangan ekonomi ini disebabkan oleh tidak meratanya distribusi pendapatan. Kenyataan menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak mencerminkan distribusi kekayaan yang merata, apalagi jurang pemisah antara orang yang kaya dengan orang yang miskin cukup tinggi. Hal ini dibuktikan dengan masih tingginya angka Gini Ratio di Indonesia. Sesuai dengan laporan BPS, pada bulan Maret 2016, Indeks Gini Rasio Indonesia mencapai angka 0,397, artinya saat ini satu persen kelompok orang kaya menguasai 39,7 persen aset nasional. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa distribusi kekayaan dari pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak tersebar merata dan hanya dikuasai oleh sekolompok orang saja.
Mengapa hal ini bisa terjadi ? Salah satu penyebab ini semua adalah pola investasi disuatu daerah. Jika pola investasi yang dikembangkan adalah padat tenaga kerja yang akan menciptakan kesempatan kerja maka distribusi pendapatan juga akan merata. Akan tetapi jika pola investasi tersebut bersifat padat modal, maka akan terjadi ketimpangan pendapatan ditengah-tengah masyarakat karena kekayaan akan menumpuk pada segelintir orang yang mempunyai banyak modal. Kondisi seperti inilah yang menjadi penyebab angka kemiskinan sulit untuk direduksi.
Salah satu dimensi dari Indek Pembanguan Manusia (IPM) yang memberikan kontribusi yang besar terhadap pembangunan manusia di Indonesia adalah standar hidup layak. Standar hidup layak bisa diperoleh manakala ia mendapatkan penghasilan yang layak pula. Pendapatan yang layak bisa mereka peroleh manakala ia memperoleh kesempatan kerja. Namun peluang bekerja bagi para pencari kerja ditanah air tidak sebanding dengan ketersediaan pekerjaan bagi mereka.
Berdasarkan laporan BPS, tingkat pengangguran pada tahun 2016 cenderung mengalami kenaikan. Pada Februari 2016, tingkat pengangguran terbuka mencapai 5,50 persen, namun pada bulan September 2016 tingkat pengangguran mengalami kenaikan menjadi 5,61 persen. Dipulau Sumatera, tingkat pengangguran tertinggi berada di Provinsi Termuda yaitu Povinsi Kepulauan Riau sebesar 7,69 persen dan kedua ditempati oleh Provinsi NAD yakni sebesar 7,57 persen. Sementara itu, secara Nasional Provinsi dengan tingkat pengangguran tertinggi adalah Provinsi Banten yakni mencapai 8,92 persen.
Kondisi seperti ini diperparah oleh kebijakan pemerintah  yang kurang berpihak pada masyarakat miskin (pro-poor) dan pengangguran (unemployment), hal ini diperlihatkan dengan banyaknya investasi asing di dalam negeri akan tetapi tidak memberikan kesempatan bekerja bagi penduduk setempat, yang terjadi justru tenaga asing illegal yang berasal dari negara PMA tersebut. Kondisi ini hampir terjadi diseluruh wilayah Indonesia, dimana setiap ada PMA maka hanya sedikit kesempatan kerja yang diberikan pada penduduk lokal, yang akses terhadap pekerjaan yang memang kurang bagus. Hal ini akan memperparah tingkat ketimpangan dan kemiskinan di wilayah tersebut.

Momentum Pilkada
Pada tanggal 15 Februari 2017 nanti, akan diadakan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) secara serentak diseluruh Indonesia. Ini menjadi momentum yang tepat bagi para calon kepala daerah untuk memaparkan program-program unggulannya. Program-program tersebut haruslah program yang langsung bisa menyentuh kebutuhan masyarakat miskin (pro-poor), lebih mengutamakan pemerataan pedapatan ketimbang mengejar pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi akan terasa hambar manakala distribusi pendapatan tidak tersebar dengan baik dan adil.  Sebaliknya, ini juga bisa menjadi kesempatan bagi pemilih untuk memilih calon kepala daerah yang bisa memberikan harapan baru bagi pembangunan daerahnya. Salah satu perubahan yang sangat diharapkan oleh masyarakat adalah meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
Oleh karenanya masyarakat harus cerdas didalam memilih calon pemimpinnya, sebab jika salah memilih maka akan menderita selama lima tahun kedepan. Bagi masyarakat yang berasal dari daerah dimana tingkat penganggurannya tinggi, kemiskinannya juga masih tinggi serta pertumbuhan ekonomi yang cenderung melambat bahkan menurun (ini terjadi pada daerah yang hanya mengandalkan PAD dari satu atau dua sektor saja sebagai komponen utama, misalnya Kabupaten Siak dan Kabupaten Bengkalis di Provinsi Riau - penghasil migas - yang pertembuhan ekonominya – PDRB - selalu minus tiga tahun belakangan), maka yang harus diperhatikan adalah apa program kerja bagi calon Kepala Daerah untuk mengatasi masalah tersebut.
Pilihlah calon kepada daerah yang memberikan program atas permasalahan tersebut yang bisa diukur dan secara logika bisa diwujudkan, bukan calon kepala daerah yang memberikan jawaban yang serba normatif, sulit diukur dan dipertanggungjawabkan. Bagi sebagian besar masyarakat kita yang tingkat pendidikannya masih rendah, kemampuan memahami permasalahan juga rendah, mereka akan cenderung memilih pemimpin yang lebih terkenal, baik terkenal karena calon kepala daerah itu memang mempunyai track record yang bagus maupun terkenal karena ia populer.
Ingatlah bahwa seseorang yang populer belum tentu ia mampu menjawab problematikan ummat khususnya masalah kemiskinan dan pengangguran. Menjadi catatan khusus disini adalah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Provinsi ini merupakan Provinsi dimana tingkat kemiskinan paling parah di Pulau Sumatera yakni sebesar 17,8% dengan angka garis kemiskinan sebesar IDR. 390.150 dan tingkat pengganggurannya juga tertinggi kedua di Pulau Sumatera. Sementara itu, Provinsi paling timur di Indonesia yakni Papua masih merupakan Provinsi paling miskin di Indonesia dimana tingkat kemiskinannya mencapai 28,17% dengan angka garis kemiskinannya sebesar IDR.402.031. Padahal kedua provinsi ini memiliki keistimewaan khusus dibandingkan provinsi lainnya, maka mereka harus bisa membuktikan bahwa mereka memang spesial dan bisa memegang kepercayaan yang sudah diberikan kepada mereka. Olehkarenanya, penting bagi pemilih untuk mengetahui calon pemimpin yang akan mereka pilih, yang bisa merealisasikan program-programnya terutama program yang pro-kemiskinan dan pro-pembangunan bukan pemimpin yang gemar memberikan harapan palsu!.
 


BUNGA BANK HAMBAT MUNCULNYA WIRAUSAHAWAN BARU ?




 Tulisan ini dimuat di Koran Waspada Pada Tanggal 31 Januari 2017
  

Pendahuluan

Kemakmuran suatu negara ditentukan salah satunya oleh banyaknya pengusaha dinegara tersebut. Idealnya jumlah pengusaha disuatu negara mencapai 5% dari total jumlah penduduk. Negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, Jerman dan beberapa negara di eropa mempunyai jumlah pengusaha lebih dari 5%. Bagaimana dengan negara kita ? Pada tahun 2015, jumlah pengusaha di Indonesia hanya mencapai 1,65% dari total jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 250 Juta jiwa, sangat tertinggal jauh jika dibandingkan dengan negara yang lebih maju di ASEAN seperti Singapura yang mana jumlah pengusahanya mencapai 7% dari total jumlah penduduk, Malaysia mencapai 5% dan Thailand mencapai 3%.
Banyak faktor yang mempengaruhi kenapa tingkat persentase pengusaha di Indonesia sangat rendah bila dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, diantaranya adalah kurangnya minat para masyarakat Indonesia didalam menggeluti dunia bisnis. Di Indonesia, sektor kewirausahaan atau bisnis dikuasai oleh segelintir orang terutama oleh WNI keturunan China, mereka mengusai berbagai sektor bisnis seperti perbankan, perkebunan, konstruksi, jasa, perbankan, peternakan, garmen dan lain-lain. Bukan hanya itu saja mereka juga menguasai jalur distribusi dan industrialisasi baik hulu maupun hilir.
Kenapa orang muslim sebagai representasi pribumi ditanah air tidak banyak yang tertarik menggeluti dunia usaha ?. Hal ini bisa disebabkan diantaranya adalah kultur keluarga yang tidak mendukung dalam berwirausaha, sistem pendidikan yang hanya menyiapkan anak didiknya untuk mengisi lowongan pekerjaan dan juga tidak kalah pentingnya adalah peran agama (ulama/ustad) yang kurang menanamkan jiwa kewirausahaan didalam kehidupan ummat Islam. Padahal Nabi Muhammad sebagai suri tauladan bagi ummat Islam adalah seorang capital owner sejak usia 37 tahun, hal ini yang belum sepenuhnya diketahui oleh kaum muslimin.
Untuk memasuki dunia bisnis memang tidak mudah jika tidak direncanakan dengan baik, butuh mentalitas yang kuat untuk terjun kedunia bisnis. Semangat saja tidak cukup didalam memulai bisnis, butuh bimbingan, arahan dan support dari orang-orang yang berpengalaman didalam dunia bisnis. Sayangnya masyarakat Indonesia khususnya kaum muslim lebih suka untuk menjadi pekerja dibandingkan membuka usaha. Ditambah lagi prinsip kuno masyarakat jawa pada khususnya yang dikenal dengan mangan ora mangan seng penting ngumpul (makan ataupun tidak makan yang penting bisa kumpul bersama). Belum lagi celetukkan dari tetangga yang kadang membuat merah telinga para sarjana yaitu untuk apa sekolah tinggi-tinggi, kalo cuma membuka usaha bakso, tidak perlu sekolah tinggi-tinggi kalo hanya untuk jualan bakso.
Berdasarkan rilis terbaru daftar 10 orang terkaya di Indonesia menurut majalah Forbes tahun 2016, orang nomor satu terkaya di Indonesia adalah Budi Hartono, seorang pengusaha Rokok keturunan China dengan kekayaan sebesar $8,3 Milyar atau setara dengan Rp. 110 Triliun , sedangkan nomor dua terkaya di Indonesia ditempati oleh adik Budi Hartono yaitu Michael Hartono dengan kekayaan sebesar $8,1 Milyar atau setara dengan Rp.107,38 Triliun. Pengusaha pribumi dan seorang muslim kali ini berhasil menempati orang terkaya di Indonesia dengan urutan nomor tiga yaitu Chaerul Tanjung dengan kekayaan sebesar $ 4,9 Milyar atau setara dengan Rp. 68,8 Triliun. Sisanya didominasi oleh pengusaha WNI keturunan, merekalah sebagai motor penggerak ekonomi ditanah air, tetapi jumlah mereka juga terbatas sehingga dibutuhkan kontribusi yang lebih dari kaum muslimin dalam memunculkan pengusaha baru yang bisa mewarnai dinamika bisnis ditanah air.


Bunga bank sebagai penghambat lahirnya wirausahawan baru ?
Sebagai “pemilik” sah republik ini sudah seharusnya kita mampu memanfaatkan sumberdaya alam yang begitu melimpah untuk kita ekploitasi demi kemaslahatan bersama. Tapi sayangnya ketidakmampuan kita menggarap dan mengelola sumberdaya alam tersebut, akhirnya diberikan kepada orang lain. Ditambahlagi keterbatasan modal bagi sebagian besar masyarakat Indonesia dalam upaya membangun bisnisnya, melatarbelakangi mengapa sulitnya memunculkan calon pengusaha baru. Bagi kaum menengah keatas, yang mempunyai cukup uang akan tetapi mereka terjebak kepada confort zone (zona nyaman dan aman), sehingga tidak mempunyai keberanian didalam mengambil resiko bisnis.
Bagi mereka lebih menarik berinvestasi dalam bidang yang rendah resiko atau bahkan tidak memiliki resiko sama sekali seperti misalnya tabungan ataupun deposito. Semakin tinggi bunga bank yang ditawarkan, maka akan semakin tertarik mereka menginvestasikan dananya dalam bentuk tabungan atau deposito. Ketika hampir seluruh elemen masyarakat kelas menengah terjebak dalam confort zone, lalu kemudian menginvestasikan dananya dalam bentuk deposito maka secara tidak langsung membuat aliran dana untuk tujuan investasi disektor rill terhambat. Dilain pihak, dana yang masuk kedalam bank begitu banyak maka yang bisa memanfaatkan tersebut adalah para kaum kapitalis yang sudah mapan dalam pengembangan bisnis. Dengan demikian secara tidak langsung sistem bunga akan menahan seseorang memutar uangnya dalam sektor rill. Uang yang ada didalam bank hanya akan dimanfaatkan oleh orang itu-itu saja. Hal ini tidak bagus dalam iklim kewirausahaan.  
Memang secara alamiah, orang akan dihadapkan pada dua pilihan yang cukup rasional yaitu mendepositiokan uangnya atau memutar uangnya untuk sektor rill. Tingkat pengembalian dan resiko merupakan pertimbangan utama seseorang didalam menginvestasikan uangnya. Jika tingkat deposito lebih menjanjikan maka orang tersebut akan memilih menginvestasikan uang pada deposito, akan tetapi jika investasi disektor rill lebih menjanjikan maka orang tersebut akan menginvestasikan disektor rill.
Sebagai ilustrasi bagaimana bunga deposito memanjakan seseorang yang terjebak didalam confort zone. Katakanlah Ibu Jamilah, mempunyai uang dari hasil kerjanya selama beberapa tahun sebesar Rp.100 juta, dengan uang sebanyak itu beliau bisa menginvestasikan dalam sektor rill misalnya membuka rumah makan Padang atau usaha rill lainnya, akan tetapi datang tawaran menggiurkan dari bank, terpaksa menunda keinginan Ibu Jamilah untuk berinvestasi disektor rill.
Bagaimana deposito bank bisa memanjakan kaum confortzonisme ? Mari kita buat sekenarionya, misalnya suku bunga deposito 15% dalam setahun, maka dengan menaruh uangnya dibank, Ibu jamilah bisa menghasilkan uang hanya dengan ongkang-ongkang kaki saja dan tanpa resiko sebesar Rp.15 juta!, lumayan bukan ?. Bagaimana kalau suku bunga turun menjadi 5%, maka Ibu Jamilah masih bisa mendapatkan keuntungan tanpa harus bekerja sebesar Rp.5 juta. Sekenario terburuk adalah apabila bank hanya memberikan bunga sebesar 2% ? tetap masih bisa menghasilkan keuntungan sebesar Rp.2 juta tanpa perlu mengeluarkan keringat.
Apakah dengan mendapatkan Rp.2 juta setahun dari uang sebanyak Rp.100 juta masih menarik bagi Ibu Jamilah ? Tentu saja ini tidak menarik lagi bagi Ibu Jamilah, maka langkah yang paling rasional adalah menginvestasikan dananya dalam sektor rill, apakah itu dengan membuka rumah makan Padang atau usaha lainnya. Dengan membuka rumah makan Padang misalnya, maka akan langsung memberikan dampak yang positif bagi perekonomian. Apa dampak positifnya ? Pertama, bisa mengurangi angka pengangguran. Kedua, meningkatkan daya beli konsumen, Ketiga,  menciptakan penawaran atas barang dan jasa lainnya.
Sekarang kita buat simulasi, dari uang sebesar Rp.100 juta tersebut terdapat tiga kompoenen utama untuk dialokasikan dalam membuka usaha yaitu biaya sewa tempat, biaya tenaga kerja dan biaya operasional usaha. Jika biaya sewa tempat dialokasikan sebesar Rp.20 juta, tenaga kerja sebesar Rp. 33 juta (untuk 3 tenaga kerja dengan upah Rp. 1 juta perorang selama setahun), maka sisanya sebesar Rp. 47 juta. Dengan komposisi seperti ini maka akan ada peningkatan daya beli konsumen sebanyak Rp.33 juta rupiah dan penawaran barang untuk kebutuhan usaha sebesar Rp.47 juta (Ini bisa melibatkan beberapa vendor dan tentunya ini juga akan menghidupkan usaha-usaha vendor tersebut). Sedangkan sisanya, untuk uang sewa sebesar Rp. 20 juta dan ini juga akan memberikan dampak meningkatnya konsumsi bagi pemilik ruko karena rukonya ada yang menyewa.
Simulasi tersebut hanya untuk satu orang saja. Bagaimana kalau seandainya ada sekitar 1 juta orang ? Maka secara makro ekonomi, akan memberikan efek yang luar biasa. Dengan 1 juta orang melakukan hal yang sama diseluruh Indonesia, maka akan terkumpul dana untuk investasi sebanyak 100 triliun !. Dengan demikian akan ada sebanyak 3 juta orang pengangguran yang bisa mendapatkan pekerjaan. Kemudian akan ada satu juta ruko yang tersewa karena disewa oleh orang-orang yang berinvestasi disektor rill dan tidak kalah fantastisnya adalah akan bermunculan bisnis baru akibat banyaknya permintaan akan kebutuhan usaha senilai Rp.47 Triliun!.
Apakah Sesederhana itu ? tentu saja tidak. Namun simulasi tersebut mempelihatkan dengan jelas bagaimana dampak munculnya usahawan baru bagi perekonomian nasional ketimbang uangnya disimpang di bank yang tingkat pengembalian investasinya kecil yang hanya akan berputar pada segelintir orang saja dan dampak multiplyer efeknya juga tidak sebesar jika berinvestasi disektor rill. Oleh karenanya dalam konsep ekonomi Islam menekankan pentingnya investasi pada sektor rill, karena pada dasarnya ekonomi Islam adalah ekonomi rill.


Bisakan Bank Syariah dan BMT sebagai supporting utama bagi ekonomi rill ?
Setali tiga uang dengan perbankkan konvensional. Saya adalah sebagian dari orang-orang yang sangat kecewa dengan kiprah perbankan syariah di tanah air, karena dalam prakteknya mereka sudah keluar dari cita-cita awal penggagas perbankan syariah yaitu menumbuh kembangkan wirausahawan baru dengan konsep bagi hasilnya. Tetapi kenyataannya tidak demikian dan saking jengkelnya dengan sepak terjang perbankan syariah ditanah air hingga dijuluki dengan Bank Murabahah (Bank jual-beli) oleh para kritikus perbankan syariah, karena memang aktifitas yang dilakukan oleh perbankan syariah lebih banyak untuk kegiatan konsumtif dengan akad murabahah dari pada kegiatan bagi hasilnya (mudhorabah ataupun musyarakah). Bahkan pola-pola yang dikembangkan oleh perbankan syariah dalam menentukan mark-up murabahah dan batas laba cenderung identik dengan bank konvensional, hanya berganti nama dari bunga (riba) menjadi marjin.
Dengan dalih kehati-hatian, mereka juga menerapkan standar yang ganda (bahasa halusnya standar yang berbeda) didalam menghimpun dana (funding)  dan menyalurkan dana (lending). Dalam hal funding mereka cenderung menerapkan akad modhorabah karena dengan konsep mudhorabah bank bisa dengan leluasa menggunakan dana nasabah untuk diputar  menghasilkan keuntungan tanpa menanggung resiko sedikitpun. Akan tetapi pada saat lending, maka konsep yang dipakai menggunakan akad murabahah, karena keuntungannya jauh lebih besar dan sudah pasti.
Apakah salah dengan apa yang dilakukan oleh perbankan syariah tersebut ? secara prinsip tidak ada yang salah dengan apa yang dilakukan oleh perbankan syariah, akan tetapi secara substansi, ini akan sangat mencederai semangat menumbuh kembangkan usaha di sektor rill. Ekonomi Islam adalah ekonomi rill, maka sudah seharusnya mereka menjadi penopang utama bagi perkembangan usaha di sektor rill.
Lalu bagaimana dengan BMT (Baitul Mal wa al-Tamwil) ?, sama saja! Padahal harapan terakhir bagi pengembangan usaha kecil dan menengah dalam konsep ekonomi Islam diletakkan dipundak mereka. Sekali lagi dengan dalih kehati-hatian dan perhitungan resiko bisnis, BMT juga menerapkan pola yang sama. Murabahah adalah konsep yang sangat menguntungkan bagi lembaga ini, karena keuntungan yang didapat untuk mereka semua.
Jika yang diharapkan sebagai corong ekonomi Islam untuk bisa mewujudkan terciptanya para wirausahawan baru tidak bisa begitu banyak diharapkan, lalu siapa yang bisa diharapkan lagi ?

Solusi atas permasalahan ini
Permasalahan ekonomi ini memang menjadi permasalahan yang paling krusial dalam sebuah negara. Kehadiran mereka dalam kehidupan bernegara memegang peranan penting didalam membantu mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran. Perkara bagaimana memunculkan para usahawan baru dan mengembangkan usaha yang sudah ada dibutuhkan dukungan dari segenap stake holher yang ada dinegeri ini. Ketika bunga bank dianggap sebagai salah satu rintangan didalam mengembangkan dan medorong munculnya para wirausahawan baru, maka harus ada pendekatan baru yang memungkinkan para “investor” bersedia menginvestasikan dalam sektor rill.
Begitu juga dengan sektor perbankan terutama perbankan syariah dan BMT, mereka harus merubah pola yang selama ini dilakukan. Tidak mudah memang, apalagi harus menanggung resiko dan tanggung jawab sebagai sohibul mal. Namun setidaknya secara perlahan perbankan syariah dan BMT sudah mulai memberikan porsi yang lebih banyak lagi untuk menerapkan konsep musyarakah dan mudhorabah dalam menyalurkan dananya. Ingatlah cita-cita awal dan semangat menumbuhkembangkan usaha kecil dan menengah dan tentunya semangat ekonomi Islam yang mendorong bisnis pada sektor rill.
Peran ulama disini juga memegang peran yang sangat penting, oleh karenanya seorang ulama juga harus merubah mindset berdakwahnya yang selama ini cenderung menekankan kehidupan akherat. Padahal dakwah dibidang ekonomi juga membutuhkan pencerahan dari para ulama. Olehkarenanya seorang ulama harus memberikan contoh yang baik dalam menjemput rizki dari Allah swt. Seorang Ustad jangan hanya mengandalkan rejekinya dari ceramah-ceramah dimasjid saja, akan tetapi bergeraklah dengan memulai sebuah bisnis yang bisa menopang dakwahnya.
Semoga ini bisa menjadi perhatian utama kita, kemandirian ekonomi merupakan cita-cita yang sangat mulia. Bagi kaum confortzonisme, tinggalkanlah riba yang selama ini membuat anda terlena, percayalah harta dari hasil riba tersebut tidak akan menambah faedah disisi Allah tetapi akan mendapat siksa yang pedih dari Allah swt (lihat QS. Albaqarah [2] : 275-281). Insya Allah dengan semangat memajukan ekonomi bangsa wabil khusus ekonomi Islam dan optimisme, kita bisa secara bersama mewujudkan sektor ekonomi rill yang kuat dan tangguh dengan bermunculannya para pengusaha baru.