Tulisan ini dimuat di Koran Waspada Pada Tanggal 31 Januari 2017
Pendahuluan
Kemakmuran suatu negara ditentukan salah satunya oleh banyaknya
pengusaha dinegara tersebut. Idealnya jumlah pengusaha disuatu negara mencapai
5% dari total jumlah penduduk. Negara-negara maju seperti Amerika, Jepang,
Jerman dan beberapa negara di eropa mempunyai jumlah pengusaha lebih dari 5%.
Bagaimana dengan negara kita ? Pada tahun 2015, jumlah pengusaha di Indonesia
hanya mencapai 1,65% dari total jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih
dari 250 Juta jiwa, sangat tertinggal jauh jika dibandingkan dengan negara yang
lebih maju di ASEAN seperti Singapura yang mana jumlah pengusahanya mencapai 7%
dari total jumlah penduduk, Malaysia mencapai 5% dan Thailand mencapai 3%.
Banyak faktor yang mempengaruhi kenapa tingkat persentase pengusaha
di Indonesia sangat rendah bila dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya,
diantaranya adalah kurangnya minat para masyarakat Indonesia didalam menggeluti
dunia bisnis. Di Indonesia, sektor kewirausahaan atau bisnis dikuasai oleh
segelintir orang terutama oleh WNI keturunan China, mereka mengusai berbagai
sektor bisnis seperti perbankan, perkebunan, konstruksi, jasa, perbankan,
peternakan, garmen dan lain-lain. Bukan hanya itu saja mereka juga menguasai
jalur distribusi dan industrialisasi baik hulu maupun hilir.
Kenapa orang muslim sebagai representasi pribumi ditanah air tidak
banyak yang tertarik menggeluti dunia usaha ?. Hal ini bisa disebabkan diantaranya
adalah kultur keluarga yang tidak mendukung dalam berwirausaha, sistem
pendidikan yang hanya menyiapkan anak didiknya untuk mengisi lowongan pekerjaan
dan juga tidak kalah pentingnya adalah peran agama (ulama/ustad) yang kurang
menanamkan jiwa kewirausahaan didalam kehidupan ummat Islam. Padahal Nabi Muhammad
sebagai suri tauladan bagi ummat Islam adalah seorang capital owner
sejak usia 37 tahun, hal ini yang belum sepenuhnya diketahui oleh kaum muslimin.
Untuk memasuki dunia bisnis memang tidak mudah jika tidak
direncanakan dengan baik, butuh mentalitas yang kuat untuk terjun kedunia
bisnis. Semangat saja tidak cukup didalam memulai bisnis, butuh bimbingan,
arahan dan support dari orang-orang yang berpengalaman didalam dunia bisnis.
Sayangnya masyarakat Indonesia khususnya kaum muslim lebih suka untuk menjadi
pekerja dibandingkan membuka usaha. Ditambah lagi prinsip kuno masyarakat jawa
pada khususnya yang dikenal dengan mangan ora mangan seng penting ngumpul (makan
ataupun tidak makan yang penting bisa kumpul bersama). Belum lagi celetukkan
dari tetangga yang kadang membuat merah telinga para sarjana yaitu untuk apa
sekolah tinggi-tinggi, kalo cuma membuka usaha bakso, tidak perlu sekolah
tinggi-tinggi kalo hanya untuk jualan bakso.
Berdasarkan rilis terbaru daftar 10 orang terkaya di Indonesia
menurut majalah Forbes tahun 2016, orang nomor satu terkaya di Indonesia adalah
Budi Hartono, seorang pengusaha Rokok keturunan China dengan kekayaan sebesar
$8,3 Milyar atau setara dengan Rp. 110 Triliun , sedangkan nomor dua terkaya di
Indonesia ditempati oleh adik Budi Hartono yaitu Michael Hartono dengan
kekayaan sebesar $8,1 Milyar atau setara dengan Rp.107,38 Triliun. Pengusaha
pribumi dan seorang muslim kali ini berhasil menempati orang terkaya di
Indonesia dengan urutan nomor tiga yaitu Chaerul Tanjung dengan kekayaan
sebesar $ 4,9 Milyar atau setara dengan Rp. 68,8 Triliun. Sisanya didominasi
oleh pengusaha WNI keturunan, merekalah sebagai motor penggerak ekonomi ditanah
air, tetapi jumlah mereka juga terbatas sehingga dibutuhkan kontribusi yang
lebih dari kaum muslimin dalam memunculkan pengusaha baru yang bisa mewarnai
dinamika bisnis ditanah air.
Bunga bank sebagai penghambat lahirnya wirausahawan baru ?
Sebagai “pemilik” sah republik ini sudah seharusnya kita mampu
memanfaatkan sumberdaya alam yang begitu melimpah untuk kita ekploitasi demi
kemaslahatan bersama. Tapi sayangnya ketidakmampuan kita menggarap dan
mengelola sumberdaya alam tersebut, akhirnya diberikan kepada orang lain.
Ditambahlagi keterbatasan modal bagi sebagian besar masyarakat Indonesia dalam
upaya membangun bisnisnya, melatarbelakangi mengapa sulitnya memunculkan calon
pengusaha baru. Bagi kaum menengah keatas, yang mempunyai cukup uang akan
tetapi mereka terjebak kepada confort zone (zona nyaman dan aman),
sehingga tidak mempunyai keberanian didalam mengambil resiko bisnis.
Bagi mereka lebih menarik berinvestasi dalam bidang yang rendah
resiko atau bahkan tidak memiliki resiko sama sekali seperti misalnya tabungan
ataupun deposito. Semakin tinggi bunga bank yang ditawarkan, maka akan semakin
tertarik mereka menginvestasikan dananya dalam bentuk tabungan atau deposito.
Ketika hampir seluruh elemen masyarakat kelas menengah terjebak dalam confort
zone, lalu kemudian menginvestasikan dananya dalam bentuk deposito maka
secara tidak langsung membuat aliran dana untuk tujuan investasi disektor rill
terhambat. Dilain pihak, dana yang masuk kedalam bank begitu banyak maka
yang bisa memanfaatkan tersebut adalah para kaum kapitalis yang sudah mapan
dalam pengembangan bisnis. Dengan demikian secara tidak langsung sistem bunga
akan menahan seseorang memutar uangnya dalam sektor rill. Uang yang ada didalam
bank hanya akan dimanfaatkan oleh orang itu-itu saja. Hal ini tidak bagus dalam
iklim kewirausahaan.
Memang secara alamiah, orang akan dihadapkan pada dua pilihan yang
cukup rasional yaitu mendepositiokan uangnya atau memutar uangnya untuk sektor
rill. Tingkat pengembalian dan resiko merupakan pertimbangan utama seseorang
didalam menginvestasikan uangnya. Jika tingkat deposito lebih menjanjikan maka
orang tersebut akan memilih menginvestasikan uang pada deposito, akan tetapi
jika investasi disektor rill lebih menjanjikan maka orang tersebut akan
menginvestasikan disektor rill.
Sebagai ilustrasi bagaimana bunga deposito memanjakan seseorang
yang terjebak didalam confort zone. Katakanlah Ibu Jamilah, mempunyai
uang dari hasil kerjanya selama beberapa tahun sebesar Rp.100 juta, dengan uang
sebanyak itu beliau bisa menginvestasikan dalam sektor rill misalnya membuka
rumah makan Padang atau usaha rill lainnya, akan tetapi datang tawaran
menggiurkan dari bank, terpaksa menunda keinginan Ibu Jamilah untuk berinvestasi
disektor rill.
Bagaimana deposito bank bisa memanjakan kaum confortzonisme ?
Mari kita buat sekenarionya, misalnya suku bunga deposito 15% dalam setahun,
maka dengan menaruh uangnya dibank, Ibu jamilah bisa menghasilkan uang hanya
dengan ongkang-ongkang kaki saja dan tanpa resiko sebesar Rp.15 juta!, lumayan
bukan ?. Bagaimana kalau suku bunga turun menjadi 5%, maka Ibu Jamilah masih
bisa mendapatkan keuntungan tanpa harus bekerja sebesar Rp.5 juta. Sekenario
terburuk adalah apabila bank hanya memberikan bunga sebesar 2% ? tetap masih
bisa menghasilkan keuntungan sebesar Rp.2 juta tanpa perlu mengeluarkan
keringat.
Apakah dengan mendapatkan Rp.2 juta setahun dari uang sebanyak
Rp.100 juta masih menarik bagi Ibu Jamilah ? Tentu saja ini tidak menarik lagi
bagi Ibu Jamilah, maka langkah yang paling rasional adalah menginvestasikan dananya
dalam sektor rill, apakah itu dengan membuka rumah makan Padang atau usaha
lainnya. Dengan membuka rumah makan Padang misalnya, maka akan langsung
memberikan dampak yang positif bagi perekonomian. Apa dampak positifnya ? Pertama,
bisa mengurangi angka pengangguran. Kedua, meningkatkan daya beli
konsumen, Ketiga, menciptakan
penawaran atas barang dan jasa lainnya.
Sekarang kita buat simulasi, dari uang sebesar Rp.100 juta tersebut
terdapat tiga kompoenen utama untuk dialokasikan dalam membuka usaha yaitu
biaya sewa tempat, biaya tenaga kerja dan biaya operasional usaha. Jika biaya
sewa tempat dialokasikan sebesar Rp.20 juta, tenaga kerja sebesar Rp. 33 juta
(untuk 3 tenaga kerja dengan upah Rp. 1 juta perorang selama setahun), maka
sisanya sebesar Rp. 47 juta. Dengan komposisi seperti ini maka akan ada
peningkatan daya beli konsumen sebanyak Rp.33 juta rupiah dan penawaran barang
untuk kebutuhan usaha sebesar Rp.47 juta (Ini bisa melibatkan beberapa vendor
dan tentunya ini juga akan menghidupkan usaha-usaha vendor tersebut). Sedangkan
sisanya, untuk uang sewa sebesar Rp. 20 juta dan ini juga akan memberikan
dampak meningkatnya konsumsi bagi pemilik ruko karena rukonya ada yang menyewa.
Simulasi tersebut hanya untuk satu orang saja. Bagaimana kalau
seandainya ada sekitar 1 juta orang ? Maka secara makro ekonomi, akan
memberikan efek yang luar biasa. Dengan 1 juta orang melakukan hal yang sama
diseluruh Indonesia, maka akan terkumpul dana untuk investasi sebanyak 100
triliun !. Dengan demikian akan ada sebanyak 3 juta orang pengangguran yang
bisa mendapatkan pekerjaan. Kemudian akan ada satu juta ruko yang tersewa
karena disewa oleh orang-orang yang berinvestasi disektor rill dan tidak kalah
fantastisnya adalah akan bermunculan bisnis baru akibat banyaknya permintaan
akan kebutuhan usaha senilai Rp.47 Triliun!.
Apakah Sesederhana itu ? tentu saja tidak. Namun simulasi tersebut
mempelihatkan dengan jelas bagaimana dampak munculnya usahawan baru bagi
perekonomian nasional ketimbang uangnya disimpang di bank yang tingkat
pengembalian investasinya kecil yang hanya akan berputar pada segelintir orang
saja dan dampak multiplyer efeknya juga tidak sebesar jika berinvestasi
disektor rill. Oleh karenanya dalam konsep ekonomi Islam menekankan pentingnya investasi
pada sektor rill, karena pada dasarnya ekonomi Islam adalah ekonomi rill.
Bisakan Bank Syariah dan BMT sebagai supporting utama bagi ekonomi
rill ?
Setali tiga uang dengan perbankkan konvensional. Saya adalah
sebagian dari orang-orang yang sangat kecewa dengan kiprah perbankan syariah di
tanah air, karena dalam prakteknya mereka sudah keluar dari cita-cita awal
penggagas perbankan syariah yaitu menumbuh kembangkan wirausahawan baru dengan
konsep bagi hasilnya. Tetapi kenyataannya tidak demikian dan saking jengkelnya dengan
sepak terjang perbankan syariah ditanah air hingga dijuluki dengan Bank Murabahah
(Bank jual-beli) oleh para kritikus perbankan syariah, karena memang aktifitas
yang dilakukan oleh perbankan syariah lebih banyak untuk kegiatan konsumtif dengan
akad murabahah dari pada kegiatan bagi hasilnya (mudhorabah ataupun
musyarakah). Bahkan pola-pola yang dikembangkan oleh perbankan syariah
dalam menentukan mark-up murabahah dan batas laba cenderung identik
dengan bank konvensional, hanya berganti nama dari bunga (riba) menjadi marjin.
Dengan dalih kehati-hatian, mereka juga menerapkan standar yang ganda
(bahasa halusnya standar yang berbeda) didalam menghimpun dana (funding) dan menyalurkan dana (lending). Dalam
hal funding mereka cenderung menerapkan akad modhorabah karena
dengan konsep mudhorabah bank bisa dengan leluasa menggunakan dana
nasabah untuk diputar menghasilkan
keuntungan tanpa menanggung resiko sedikitpun. Akan tetapi pada saat lending,
maka konsep yang dipakai menggunakan akad murabahah, karena
keuntungannya jauh lebih besar dan sudah pasti.
Apakah salah dengan apa yang dilakukan oleh perbankan syariah tersebut
? secara prinsip tidak ada yang salah dengan apa yang dilakukan oleh perbankan
syariah, akan tetapi secara substansi, ini akan sangat mencederai semangat
menumbuh kembangkan usaha di sektor rill. Ekonomi Islam adalah ekonomi rill,
maka sudah seharusnya mereka menjadi penopang utama bagi perkembangan usaha di
sektor rill.
Lalu bagaimana dengan BMT (Baitul Mal wa al-Tamwil) ?, sama
saja! Padahal harapan terakhir bagi pengembangan usaha kecil dan menengah dalam
konsep ekonomi Islam diletakkan dipundak mereka. Sekali lagi dengan dalih
kehati-hatian dan perhitungan resiko bisnis, BMT juga menerapkan pola yang
sama. Murabahah adalah konsep yang sangat menguntungkan bagi lembaga
ini, karena keuntungan yang didapat untuk mereka semua.
Jika yang diharapkan sebagai corong ekonomi Islam untuk bisa
mewujudkan terciptanya para wirausahawan baru tidak bisa begitu banyak
diharapkan, lalu siapa yang bisa diharapkan lagi ?
Solusi atas permasalahan ini
Permasalahan ekonomi ini memang menjadi permasalahan yang paling
krusial dalam sebuah negara. Kehadiran mereka dalam kehidupan bernegara
memegang peranan penting didalam membantu mengatasi masalah kemiskinan dan
pengangguran. Perkara bagaimana memunculkan para usahawan baru dan mengembangkan
usaha yang sudah ada dibutuhkan dukungan dari segenap stake holher yang ada
dinegeri ini. Ketika bunga bank dianggap sebagai salah satu rintangan didalam
mengembangkan dan medorong munculnya para wirausahawan baru, maka harus ada
pendekatan baru yang memungkinkan para “investor” bersedia menginvestasikan
dalam sektor rill.
Begitu juga dengan sektor perbankan terutama perbankan syariah dan
BMT, mereka harus merubah pola yang selama ini dilakukan. Tidak mudah memang,
apalagi harus menanggung resiko dan tanggung jawab sebagai sohibul mal. Namun
setidaknya secara perlahan perbankan syariah dan BMT sudah mulai memberikan
porsi yang lebih banyak lagi untuk menerapkan konsep musyarakah dan mudhorabah
dalam menyalurkan dananya. Ingatlah cita-cita awal dan semangat
menumbuhkembangkan usaha kecil dan menengah dan tentunya semangat ekonomi Islam
yang mendorong bisnis pada sektor rill.
Peran ulama disini juga memegang peran yang sangat penting, oleh
karenanya seorang ulama juga harus merubah mindset berdakwahnya yang selama ini
cenderung menekankan kehidupan akherat. Padahal dakwah dibidang ekonomi juga
membutuhkan pencerahan dari para ulama. Olehkarenanya seorang ulama harus
memberikan contoh yang baik dalam menjemput rizki dari Allah swt. Seorang Ustad
jangan hanya mengandalkan rejekinya dari ceramah-ceramah dimasjid saja, akan
tetapi bergeraklah dengan memulai sebuah bisnis yang bisa menopang dakwahnya.
Semoga ini bisa menjadi perhatian utama kita, kemandirian ekonomi
merupakan cita-cita yang sangat mulia. Bagi kaum confortzonisme, tinggalkanlah
riba yang selama ini membuat anda terlena, percayalah harta dari hasil riba
tersebut tidak akan menambah faedah disisi Allah tetapi akan mendapat siksa
yang pedih dari Allah swt (lihat QS. Albaqarah [2] : 275-281). Insya Allah
dengan semangat memajukan ekonomi bangsa wabil khusus ekonomi Islam dan
optimisme, kita bisa secara bersama mewujudkan sektor ekonomi rill yang kuat
dan tangguh dengan bermunculannya para pengusaha baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar