Minggu, 26 Februari 2017

BUNGA BANK HAMBAT MUNCULNYA WIRAUSAHAWAN BARU ?




 Tulisan ini dimuat di Koran Waspada Pada Tanggal 31 Januari 2017
  

Pendahuluan

Kemakmuran suatu negara ditentukan salah satunya oleh banyaknya pengusaha dinegara tersebut. Idealnya jumlah pengusaha disuatu negara mencapai 5% dari total jumlah penduduk. Negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, Jerman dan beberapa negara di eropa mempunyai jumlah pengusaha lebih dari 5%. Bagaimana dengan negara kita ? Pada tahun 2015, jumlah pengusaha di Indonesia hanya mencapai 1,65% dari total jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 250 Juta jiwa, sangat tertinggal jauh jika dibandingkan dengan negara yang lebih maju di ASEAN seperti Singapura yang mana jumlah pengusahanya mencapai 7% dari total jumlah penduduk, Malaysia mencapai 5% dan Thailand mencapai 3%.
Banyak faktor yang mempengaruhi kenapa tingkat persentase pengusaha di Indonesia sangat rendah bila dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, diantaranya adalah kurangnya minat para masyarakat Indonesia didalam menggeluti dunia bisnis. Di Indonesia, sektor kewirausahaan atau bisnis dikuasai oleh segelintir orang terutama oleh WNI keturunan China, mereka mengusai berbagai sektor bisnis seperti perbankan, perkebunan, konstruksi, jasa, perbankan, peternakan, garmen dan lain-lain. Bukan hanya itu saja mereka juga menguasai jalur distribusi dan industrialisasi baik hulu maupun hilir.
Kenapa orang muslim sebagai representasi pribumi ditanah air tidak banyak yang tertarik menggeluti dunia usaha ?. Hal ini bisa disebabkan diantaranya adalah kultur keluarga yang tidak mendukung dalam berwirausaha, sistem pendidikan yang hanya menyiapkan anak didiknya untuk mengisi lowongan pekerjaan dan juga tidak kalah pentingnya adalah peran agama (ulama/ustad) yang kurang menanamkan jiwa kewirausahaan didalam kehidupan ummat Islam. Padahal Nabi Muhammad sebagai suri tauladan bagi ummat Islam adalah seorang capital owner sejak usia 37 tahun, hal ini yang belum sepenuhnya diketahui oleh kaum muslimin.
Untuk memasuki dunia bisnis memang tidak mudah jika tidak direncanakan dengan baik, butuh mentalitas yang kuat untuk terjun kedunia bisnis. Semangat saja tidak cukup didalam memulai bisnis, butuh bimbingan, arahan dan support dari orang-orang yang berpengalaman didalam dunia bisnis. Sayangnya masyarakat Indonesia khususnya kaum muslim lebih suka untuk menjadi pekerja dibandingkan membuka usaha. Ditambah lagi prinsip kuno masyarakat jawa pada khususnya yang dikenal dengan mangan ora mangan seng penting ngumpul (makan ataupun tidak makan yang penting bisa kumpul bersama). Belum lagi celetukkan dari tetangga yang kadang membuat merah telinga para sarjana yaitu untuk apa sekolah tinggi-tinggi, kalo cuma membuka usaha bakso, tidak perlu sekolah tinggi-tinggi kalo hanya untuk jualan bakso.
Berdasarkan rilis terbaru daftar 10 orang terkaya di Indonesia menurut majalah Forbes tahun 2016, orang nomor satu terkaya di Indonesia adalah Budi Hartono, seorang pengusaha Rokok keturunan China dengan kekayaan sebesar $8,3 Milyar atau setara dengan Rp. 110 Triliun , sedangkan nomor dua terkaya di Indonesia ditempati oleh adik Budi Hartono yaitu Michael Hartono dengan kekayaan sebesar $8,1 Milyar atau setara dengan Rp.107,38 Triliun. Pengusaha pribumi dan seorang muslim kali ini berhasil menempati orang terkaya di Indonesia dengan urutan nomor tiga yaitu Chaerul Tanjung dengan kekayaan sebesar $ 4,9 Milyar atau setara dengan Rp. 68,8 Triliun. Sisanya didominasi oleh pengusaha WNI keturunan, merekalah sebagai motor penggerak ekonomi ditanah air, tetapi jumlah mereka juga terbatas sehingga dibutuhkan kontribusi yang lebih dari kaum muslimin dalam memunculkan pengusaha baru yang bisa mewarnai dinamika bisnis ditanah air.


Bunga bank sebagai penghambat lahirnya wirausahawan baru ?
Sebagai “pemilik” sah republik ini sudah seharusnya kita mampu memanfaatkan sumberdaya alam yang begitu melimpah untuk kita ekploitasi demi kemaslahatan bersama. Tapi sayangnya ketidakmampuan kita menggarap dan mengelola sumberdaya alam tersebut, akhirnya diberikan kepada orang lain. Ditambahlagi keterbatasan modal bagi sebagian besar masyarakat Indonesia dalam upaya membangun bisnisnya, melatarbelakangi mengapa sulitnya memunculkan calon pengusaha baru. Bagi kaum menengah keatas, yang mempunyai cukup uang akan tetapi mereka terjebak kepada confort zone (zona nyaman dan aman), sehingga tidak mempunyai keberanian didalam mengambil resiko bisnis.
Bagi mereka lebih menarik berinvestasi dalam bidang yang rendah resiko atau bahkan tidak memiliki resiko sama sekali seperti misalnya tabungan ataupun deposito. Semakin tinggi bunga bank yang ditawarkan, maka akan semakin tertarik mereka menginvestasikan dananya dalam bentuk tabungan atau deposito. Ketika hampir seluruh elemen masyarakat kelas menengah terjebak dalam confort zone, lalu kemudian menginvestasikan dananya dalam bentuk deposito maka secara tidak langsung membuat aliran dana untuk tujuan investasi disektor rill terhambat. Dilain pihak, dana yang masuk kedalam bank begitu banyak maka yang bisa memanfaatkan tersebut adalah para kaum kapitalis yang sudah mapan dalam pengembangan bisnis. Dengan demikian secara tidak langsung sistem bunga akan menahan seseorang memutar uangnya dalam sektor rill. Uang yang ada didalam bank hanya akan dimanfaatkan oleh orang itu-itu saja. Hal ini tidak bagus dalam iklim kewirausahaan.  
Memang secara alamiah, orang akan dihadapkan pada dua pilihan yang cukup rasional yaitu mendepositiokan uangnya atau memutar uangnya untuk sektor rill. Tingkat pengembalian dan resiko merupakan pertimbangan utama seseorang didalam menginvestasikan uangnya. Jika tingkat deposito lebih menjanjikan maka orang tersebut akan memilih menginvestasikan uang pada deposito, akan tetapi jika investasi disektor rill lebih menjanjikan maka orang tersebut akan menginvestasikan disektor rill.
Sebagai ilustrasi bagaimana bunga deposito memanjakan seseorang yang terjebak didalam confort zone. Katakanlah Ibu Jamilah, mempunyai uang dari hasil kerjanya selama beberapa tahun sebesar Rp.100 juta, dengan uang sebanyak itu beliau bisa menginvestasikan dalam sektor rill misalnya membuka rumah makan Padang atau usaha rill lainnya, akan tetapi datang tawaran menggiurkan dari bank, terpaksa menunda keinginan Ibu Jamilah untuk berinvestasi disektor rill.
Bagaimana deposito bank bisa memanjakan kaum confortzonisme ? Mari kita buat sekenarionya, misalnya suku bunga deposito 15% dalam setahun, maka dengan menaruh uangnya dibank, Ibu jamilah bisa menghasilkan uang hanya dengan ongkang-ongkang kaki saja dan tanpa resiko sebesar Rp.15 juta!, lumayan bukan ?. Bagaimana kalau suku bunga turun menjadi 5%, maka Ibu Jamilah masih bisa mendapatkan keuntungan tanpa harus bekerja sebesar Rp.5 juta. Sekenario terburuk adalah apabila bank hanya memberikan bunga sebesar 2% ? tetap masih bisa menghasilkan keuntungan sebesar Rp.2 juta tanpa perlu mengeluarkan keringat.
Apakah dengan mendapatkan Rp.2 juta setahun dari uang sebanyak Rp.100 juta masih menarik bagi Ibu Jamilah ? Tentu saja ini tidak menarik lagi bagi Ibu Jamilah, maka langkah yang paling rasional adalah menginvestasikan dananya dalam sektor rill, apakah itu dengan membuka rumah makan Padang atau usaha lainnya. Dengan membuka rumah makan Padang misalnya, maka akan langsung memberikan dampak yang positif bagi perekonomian. Apa dampak positifnya ? Pertama, bisa mengurangi angka pengangguran. Kedua, meningkatkan daya beli konsumen, Ketiga,  menciptakan penawaran atas barang dan jasa lainnya.
Sekarang kita buat simulasi, dari uang sebesar Rp.100 juta tersebut terdapat tiga kompoenen utama untuk dialokasikan dalam membuka usaha yaitu biaya sewa tempat, biaya tenaga kerja dan biaya operasional usaha. Jika biaya sewa tempat dialokasikan sebesar Rp.20 juta, tenaga kerja sebesar Rp. 33 juta (untuk 3 tenaga kerja dengan upah Rp. 1 juta perorang selama setahun), maka sisanya sebesar Rp. 47 juta. Dengan komposisi seperti ini maka akan ada peningkatan daya beli konsumen sebanyak Rp.33 juta rupiah dan penawaran barang untuk kebutuhan usaha sebesar Rp.47 juta (Ini bisa melibatkan beberapa vendor dan tentunya ini juga akan menghidupkan usaha-usaha vendor tersebut). Sedangkan sisanya, untuk uang sewa sebesar Rp. 20 juta dan ini juga akan memberikan dampak meningkatnya konsumsi bagi pemilik ruko karena rukonya ada yang menyewa.
Simulasi tersebut hanya untuk satu orang saja. Bagaimana kalau seandainya ada sekitar 1 juta orang ? Maka secara makro ekonomi, akan memberikan efek yang luar biasa. Dengan 1 juta orang melakukan hal yang sama diseluruh Indonesia, maka akan terkumpul dana untuk investasi sebanyak 100 triliun !. Dengan demikian akan ada sebanyak 3 juta orang pengangguran yang bisa mendapatkan pekerjaan. Kemudian akan ada satu juta ruko yang tersewa karena disewa oleh orang-orang yang berinvestasi disektor rill dan tidak kalah fantastisnya adalah akan bermunculan bisnis baru akibat banyaknya permintaan akan kebutuhan usaha senilai Rp.47 Triliun!.
Apakah Sesederhana itu ? tentu saja tidak. Namun simulasi tersebut mempelihatkan dengan jelas bagaimana dampak munculnya usahawan baru bagi perekonomian nasional ketimbang uangnya disimpang di bank yang tingkat pengembalian investasinya kecil yang hanya akan berputar pada segelintir orang saja dan dampak multiplyer efeknya juga tidak sebesar jika berinvestasi disektor rill. Oleh karenanya dalam konsep ekonomi Islam menekankan pentingnya investasi pada sektor rill, karena pada dasarnya ekonomi Islam adalah ekonomi rill.


Bisakan Bank Syariah dan BMT sebagai supporting utama bagi ekonomi rill ?
Setali tiga uang dengan perbankkan konvensional. Saya adalah sebagian dari orang-orang yang sangat kecewa dengan kiprah perbankan syariah di tanah air, karena dalam prakteknya mereka sudah keluar dari cita-cita awal penggagas perbankan syariah yaitu menumbuh kembangkan wirausahawan baru dengan konsep bagi hasilnya. Tetapi kenyataannya tidak demikian dan saking jengkelnya dengan sepak terjang perbankan syariah ditanah air hingga dijuluki dengan Bank Murabahah (Bank jual-beli) oleh para kritikus perbankan syariah, karena memang aktifitas yang dilakukan oleh perbankan syariah lebih banyak untuk kegiatan konsumtif dengan akad murabahah dari pada kegiatan bagi hasilnya (mudhorabah ataupun musyarakah). Bahkan pola-pola yang dikembangkan oleh perbankan syariah dalam menentukan mark-up murabahah dan batas laba cenderung identik dengan bank konvensional, hanya berganti nama dari bunga (riba) menjadi marjin.
Dengan dalih kehati-hatian, mereka juga menerapkan standar yang ganda (bahasa halusnya standar yang berbeda) didalam menghimpun dana (funding)  dan menyalurkan dana (lending). Dalam hal funding mereka cenderung menerapkan akad modhorabah karena dengan konsep mudhorabah bank bisa dengan leluasa menggunakan dana nasabah untuk diputar  menghasilkan keuntungan tanpa menanggung resiko sedikitpun. Akan tetapi pada saat lending, maka konsep yang dipakai menggunakan akad murabahah, karena keuntungannya jauh lebih besar dan sudah pasti.
Apakah salah dengan apa yang dilakukan oleh perbankan syariah tersebut ? secara prinsip tidak ada yang salah dengan apa yang dilakukan oleh perbankan syariah, akan tetapi secara substansi, ini akan sangat mencederai semangat menumbuh kembangkan usaha di sektor rill. Ekonomi Islam adalah ekonomi rill, maka sudah seharusnya mereka menjadi penopang utama bagi perkembangan usaha di sektor rill.
Lalu bagaimana dengan BMT (Baitul Mal wa al-Tamwil) ?, sama saja! Padahal harapan terakhir bagi pengembangan usaha kecil dan menengah dalam konsep ekonomi Islam diletakkan dipundak mereka. Sekali lagi dengan dalih kehati-hatian dan perhitungan resiko bisnis, BMT juga menerapkan pola yang sama. Murabahah adalah konsep yang sangat menguntungkan bagi lembaga ini, karena keuntungan yang didapat untuk mereka semua.
Jika yang diharapkan sebagai corong ekonomi Islam untuk bisa mewujudkan terciptanya para wirausahawan baru tidak bisa begitu banyak diharapkan, lalu siapa yang bisa diharapkan lagi ?

Solusi atas permasalahan ini
Permasalahan ekonomi ini memang menjadi permasalahan yang paling krusial dalam sebuah negara. Kehadiran mereka dalam kehidupan bernegara memegang peranan penting didalam membantu mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran. Perkara bagaimana memunculkan para usahawan baru dan mengembangkan usaha yang sudah ada dibutuhkan dukungan dari segenap stake holher yang ada dinegeri ini. Ketika bunga bank dianggap sebagai salah satu rintangan didalam mengembangkan dan medorong munculnya para wirausahawan baru, maka harus ada pendekatan baru yang memungkinkan para “investor” bersedia menginvestasikan dalam sektor rill.
Begitu juga dengan sektor perbankan terutama perbankan syariah dan BMT, mereka harus merubah pola yang selama ini dilakukan. Tidak mudah memang, apalagi harus menanggung resiko dan tanggung jawab sebagai sohibul mal. Namun setidaknya secara perlahan perbankan syariah dan BMT sudah mulai memberikan porsi yang lebih banyak lagi untuk menerapkan konsep musyarakah dan mudhorabah dalam menyalurkan dananya. Ingatlah cita-cita awal dan semangat menumbuhkembangkan usaha kecil dan menengah dan tentunya semangat ekonomi Islam yang mendorong bisnis pada sektor rill.
Peran ulama disini juga memegang peran yang sangat penting, oleh karenanya seorang ulama juga harus merubah mindset berdakwahnya yang selama ini cenderung menekankan kehidupan akherat. Padahal dakwah dibidang ekonomi juga membutuhkan pencerahan dari para ulama. Olehkarenanya seorang ulama harus memberikan contoh yang baik dalam menjemput rizki dari Allah swt. Seorang Ustad jangan hanya mengandalkan rejekinya dari ceramah-ceramah dimasjid saja, akan tetapi bergeraklah dengan memulai sebuah bisnis yang bisa menopang dakwahnya.
Semoga ini bisa menjadi perhatian utama kita, kemandirian ekonomi merupakan cita-cita yang sangat mulia. Bagi kaum confortzonisme, tinggalkanlah riba yang selama ini membuat anda terlena, percayalah harta dari hasil riba tersebut tidak akan menambah faedah disisi Allah tetapi akan mendapat siksa yang pedih dari Allah swt (lihat QS. Albaqarah [2] : 275-281). Insya Allah dengan semangat memajukan ekonomi bangsa wabil khusus ekonomi Islam dan optimisme, kita bisa secara bersama mewujudkan sektor ekonomi rill yang kuat dan tangguh dengan bermunculannya para pengusaha baru.

Tidak ada komentar: