Minggu, 26 Februari 2017

KEMISKINAN, KETIMPANGAN, PENGANGGURAN DAN PILKADA

Tulisan ini dimuat di koran Waspada Medan, Tanggal 17 Februari 2017

Pendahuluan
Bagi negara-negara berkembang (dahulu sebutan negara berkembang adalah negara miskin dan negera terbelakang), kemiskinan merupakan isu utama yang selalu menjadi pembahasan dari tahun ketahun. Kemiskinan seolah-olah menjadi momok yang selalui menghantui pemerintah termasuk di negara kita, Indonesia. Betapa tidak, dinegara yang kaya akan sumberdaya alam ini ternyata masih terdapat banyak masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan.
Konsepsi tentang kemiskinan disuatu tempat mempunyai konsep yang berbeda, namun pada dasarnya kemiskian itu identik dengan kekurangan materi dan rendahnya pendapatan. Sehingga kemiskinan mempunyai hubungan yang erat dengan pengangguran, karena ketika seseorang tidak mempunyai pekerjaan maka secara otomatis ia tidak akan mendapatkan pendapatan. Bank Dunia memberikan standar mengenai kemiskian berdasarkan daya beli paritas (Purchasing Power Parity-PPP) dimana seseorang dikatakan miskin apabila tidak bisa memenuhi kebutuhannya kurang dari USD 1,25 perhari dan kurang dari USD 2 perhari.
Ada banyak penyebab terjadinya kemiskinan diantaranya adalah rendahnya akses terhadap kesempatan kerja (rendahnya pendidikan, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak), tidak tersedianya lapangan pekerjaan, banyaknya korupsi, terbatasnya akses informasi, terbatasnya akses modal dan lain sebagainya. Namun secara konseptual kemiskinan disebabkan oleh empat faktor yaitu faktor individu, faktor sosial, faktor kultural dan faktor struktural.
Indek pembangunan manusia (IPM) merupakah salah satu tolak ukur keberhasilan suatu daerah didalam membangun daerahnya. IPM ini menggambarkan tingkat kualitas hidup sekaligus kemampuan (capability) manusia, semakin rendah IPM disuatu wilayah menunjukkan bahwa kesejahteraan masyarakatnya masih memprihatinkan dalam arti kata masyarakatnya masih hidup dibawah garis kemiskinan. IPM diukur dari tiga dimensi yaitu panjang umur dan sehat, akses terhadap pengetahuan dan standar hidup layak.
Berdasarkan laporan UNDP (United Nations Development Programme) , IPM Indonesia berada diurutan diatas angka 100 dari 177 negara, jauh tertinggal jika dibandingkan dengan Singapura (25), Brunei Darussalam (30, Malaysia (63) bahkan negara kita kalah dengan filipina yang berada di posisi 90. Sementara itu Vietnam juga sudah mulai memperbaiki posisinya (105) dan bukan tidak mungkin akan menyodok Indonesia.


Kemiskinan, Ketimpangan dan Pengangguran
Di Indonesia tingkat kemiskinan hampir merata terjadi disetiap provinsi. Pada awal-awal tahun 1990-an, tingkat kemiskinan terparah terjadi di Provinsi Kalimantan Barat yakni sebesar 27,6 persen, kemudian diikuiti oleh NTT sebesar 24,1 persen dan NTB sebesar 23,2 persen. Sementara itu tingkat kemiskinan paling rendah terdapat di DKI Jakarta yakni sebesar 7,8 persen, kemudian diikuti oleh Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 10,8 persen dan Bali sebesar 11,2 persen (Pada tahun tersebut, laporan tidak tersedia bagi Provinsi Papua). Setelah satu dasawarsa lebih, terjadi perubahan dibeberapa daerah persentase tingkat kemiskinan. Prestasi luar biasa dicapai oleh Provinsi yang berada di Pulau Kalimantan, dimana tingkat kemiskinan diawal tahun 1990-an berada di atas angka 20 persen, pada SUSENAS tahun 2015 angka kemiskinan turun dratis dibawah 10 persen, bahkan ada dua provinsi di Pulau Kalimantan yaitu Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan berhasil menekan angka kemiskinan masing 5,94 persen dan 4,99 persen. Namun, ada beberapa provinsi yang hanya sedikit mangalami perubahan angka garis kemiskinan dan bahkan ada yang justru bertambah tinggi angka garis kemiskinan seperti provinsi NAD.
Dari data SUSENAS tersebut juga terlihat indeks kedalaman kemisninan (P1) dan indeks keparahan kemiskinan (P2). indeks kedalaman kemisninan (P1) menunjukkan bahwa rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap batas miskin (Garis Kemiskinan yang berlaku di suatu Negarea). Sedangkan indeks keparahan kemiskinan (P2) menunjukkan ketimpangan pengeluaran dari penduduk yang paling miskin atau yang makin jauh dari garis kemiskinan yang berlaku. Dari tersebut terlihat bahwa kesenjangan pengeluaran hampir merata di setiap Pulau di Indonseia, dimana tingkat keparahan terjadi di Pulau Papua.
Tingkat kemiskinan yang berbeda pada setiap provinsi disebabkan oleh banyak hal seperti laju pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, keterbukaan terhadap investasi dan lain-lain. Pertumbuhan ekonomi merupakan penyumbang terbesar didalam mengentaskan kemiskinan. Salah Satu toal ukur pertumbuhan ekonomi adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Sebagaimana dalam laporan BPS Pada triwulan II 2016, Pulai Jawa masih merupakan penyumbang PDB terbesar secara Nasional yakni sebesar 58,81 persen, kemudian diikuti oleh Pulau Sumatera sebesar 22,02 persen, Pulau Kalimantan sebesar 7,61 persen, Pulau Sulawesi 6,08 persen dan sisanya 5,48 persen di pulau-pulau lainnya.
Selain kemiskinan, ketimpangan ekonomi juga melanda disebagian besar wilayah Indonesia. Ketimpangan ekonomi ini disebabkan oleh tidak meratanya distribusi pendapatan. Kenyataan menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak mencerminkan distribusi kekayaan yang merata, apalagi jurang pemisah antara orang yang kaya dengan orang yang miskin cukup tinggi. Hal ini dibuktikan dengan masih tingginya angka Gini Ratio di Indonesia. Sesuai dengan laporan BPS, pada bulan Maret 2016, Indeks Gini Rasio Indonesia mencapai angka 0,397, artinya saat ini satu persen kelompok orang kaya menguasai 39,7 persen aset nasional. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa distribusi kekayaan dari pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak tersebar merata dan hanya dikuasai oleh sekolompok orang saja.
Mengapa hal ini bisa terjadi ? Salah satu penyebab ini semua adalah pola investasi disuatu daerah. Jika pola investasi yang dikembangkan adalah padat tenaga kerja yang akan menciptakan kesempatan kerja maka distribusi pendapatan juga akan merata. Akan tetapi jika pola investasi tersebut bersifat padat modal, maka akan terjadi ketimpangan pendapatan ditengah-tengah masyarakat karena kekayaan akan menumpuk pada segelintir orang yang mempunyai banyak modal. Kondisi seperti inilah yang menjadi penyebab angka kemiskinan sulit untuk direduksi.
Salah satu dimensi dari Indek Pembanguan Manusia (IPM) yang memberikan kontribusi yang besar terhadap pembangunan manusia di Indonesia adalah standar hidup layak. Standar hidup layak bisa diperoleh manakala ia mendapatkan penghasilan yang layak pula. Pendapatan yang layak bisa mereka peroleh manakala ia memperoleh kesempatan kerja. Namun peluang bekerja bagi para pencari kerja ditanah air tidak sebanding dengan ketersediaan pekerjaan bagi mereka.
Berdasarkan laporan BPS, tingkat pengangguran pada tahun 2016 cenderung mengalami kenaikan. Pada Februari 2016, tingkat pengangguran terbuka mencapai 5,50 persen, namun pada bulan September 2016 tingkat pengangguran mengalami kenaikan menjadi 5,61 persen. Dipulau Sumatera, tingkat pengangguran tertinggi berada di Provinsi Termuda yaitu Povinsi Kepulauan Riau sebesar 7,69 persen dan kedua ditempati oleh Provinsi NAD yakni sebesar 7,57 persen. Sementara itu, secara Nasional Provinsi dengan tingkat pengangguran tertinggi adalah Provinsi Banten yakni mencapai 8,92 persen.
Kondisi seperti ini diperparah oleh kebijakan pemerintah  yang kurang berpihak pada masyarakat miskin (pro-poor) dan pengangguran (unemployment), hal ini diperlihatkan dengan banyaknya investasi asing di dalam negeri akan tetapi tidak memberikan kesempatan bekerja bagi penduduk setempat, yang terjadi justru tenaga asing illegal yang berasal dari negara PMA tersebut. Kondisi ini hampir terjadi diseluruh wilayah Indonesia, dimana setiap ada PMA maka hanya sedikit kesempatan kerja yang diberikan pada penduduk lokal, yang akses terhadap pekerjaan yang memang kurang bagus. Hal ini akan memperparah tingkat ketimpangan dan kemiskinan di wilayah tersebut.

Momentum Pilkada
Pada tanggal 15 Februari 2017 nanti, akan diadakan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) secara serentak diseluruh Indonesia. Ini menjadi momentum yang tepat bagi para calon kepala daerah untuk memaparkan program-program unggulannya. Program-program tersebut haruslah program yang langsung bisa menyentuh kebutuhan masyarakat miskin (pro-poor), lebih mengutamakan pemerataan pedapatan ketimbang mengejar pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi akan terasa hambar manakala distribusi pendapatan tidak tersebar dengan baik dan adil.  Sebaliknya, ini juga bisa menjadi kesempatan bagi pemilih untuk memilih calon kepala daerah yang bisa memberikan harapan baru bagi pembangunan daerahnya. Salah satu perubahan yang sangat diharapkan oleh masyarakat adalah meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
Oleh karenanya masyarakat harus cerdas didalam memilih calon pemimpinnya, sebab jika salah memilih maka akan menderita selama lima tahun kedepan. Bagi masyarakat yang berasal dari daerah dimana tingkat penganggurannya tinggi, kemiskinannya juga masih tinggi serta pertumbuhan ekonomi yang cenderung melambat bahkan menurun (ini terjadi pada daerah yang hanya mengandalkan PAD dari satu atau dua sektor saja sebagai komponen utama, misalnya Kabupaten Siak dan Kabupaten Bengkalis di Provinsi Riau - penghasil migas - yang pertembuhan ekonominya – PDRB - selalu minus tiga tahun belakangan), maka yang harus diperhatikan adalah apa program kerja bagi calon Kepala Daerah untuk mengatasi masalah tersebut.
Pilihlah calon kepada daerah yang memberikan program atas permasalahan tersebut yang bisa diukur dan secara logika bisa diwujudkan, bukan calon kepala daerah yang memberikan jawaban yang serba normatif, sulit diukur dan dipertanggungjawabkan. Bagi sebagian besar masyarakat kita yang tingkat pendidikannya masih rendah, kemampuan memahami permasalahan juga rendah, mereka akan cenderung memilih pemimpin yang lebih terkenal, baik terkenal karena calon kepala daerah itu memang mempunyai track record yang bagus maupun terkenal karena ia populer.
Ingatlah bahwa seseorang yang populer belum tentu ia mampu menjawab problematikan ummat khususnya masalah kemiskinan dan pengangguran. Menjadi catatan khusus disini adalah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Provinsi ini merupakan Provinsi dimana tingkat kemiskinan paling parah di Pulau Sumatera yakni sebesar 17,8% dengan angka garis kemiskinan sebesar IDR. 390.150 dan tingkat pengganggurannya juga tertinggi kedua di Pulau Sumatera. Sementara itu, Provinsi paling timur di Indonesia yakni Papua masih merupakan Provinsi paling miskin di Indonesia dimana tingkat kemiskinannya mencapai 28,17% dengan angka garis kemiskinannya sebesar IDR.402.031. Padahal kedua provinsi ini memiliki keistimewaan khusus dibandingkan provinsi lainnya, maka mereka harus bisa membuktikan bahwa mereka memang spesial dan bisa memegang kepercayaan yang sudah diberikan kepada mereka. Olehkarenanya, penting bagi pemilih untuk mengetahui calon pemimpin yang akan mereka pilih, yang bisa merealisasikan program-programnya terutama program yang pro-kemiskinan dan pro-pembangunan bukan pemimpin yang gemar memberikan harapan palsu!.
 


Tidak ada komentar: