Tulisan ini dimuat di koran Waspada Medan, Tanggal 17 Februari 2017
Pendahuluan
Bagi negara-negara berkembang (dahulu sebutan negara berkembang
adalah negara miskin dan negera terbelakang), kemiskinan merupakan isu utama
yang selalu menjadi pembahasan dari tahun ketahun. Kemiskinan seolah-olah
menjadi momok yang selalui menghantui pemerintah termasuk di negara kita,
Indonesia. Betapa tidak, dinegara yang kaya akan sumberdaya alam ini ternyata
masih terdapat banyak masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan.
Konsepsi tentang kemiskinan disuatu tempat mempunyai konsep yang
berbeda, namun pada dasarnya kemiskian itu identik dengan kekurangan materi dan
rendahnya pendapatan. Sehingga kemiskinan mempunyai hubungan yang erat dengan
pengangguran, karena ketika seseorang tidak mempunyai pekerjaan maka secara
otomatis ia tidak akan mendapatkan pendapatan. Bank Dunia memberikan standar
mengenai kemiskian berdasarkan daya beli paritas (Purchasing Power
Parity-PPP) dimana seseorang dikatakan miskin apabila tidak bisa memenuhi
kebutuhannya kurang dari USD 1,25 perhari dan kurang dari USD 2 perhari.
Ada banyak penyebab terjadinya kemiskinan diantaranya
adalah rendahnya akses terhadap kesempatan kerja (rendahnya pendidikan,
sehingga ia kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak),
tidak tersedianya lapangan pekerjaan, banyaknya korupsi, terbatasnya akses
informasi, terbatasnya akses modal dan lain sebagainya. Namun secara konseptual
kemiskinan disebabkan oleh empat faktor yaitu faktor individu, faktor sosial,
faktor kultural dan faktor struktural.
Indek pembangunan manusia (IPM) merupakah salah satu
tolak ukur keberhasilan suatu daerah didalam membangun daerahnya. IPM ini
menggambarkan tingkat kualitas hidup sekaligus kemampuan (capability)
manusia, semakin rendah IPM disuatu wilayah menunjukkan bahwa kesejahteraan
masyarakatnya masih memprihatinkan dalam arti kata masyarakatnya masih hidup
dibawah garis kemiskinan. IPM diukur dari tiga dimensi yaitu panjang umur dan
sehat, akses terhadap pengetahuan dan standar hidup layak.
Berdasarkan laporan UNDP (United Nations Development
Programme) , IPM Indonesia berada diurutan diatas angka 100 dari 177
negara, jauh tertinggal jika dibandingkan dengan Singapura (25), Brunei
Darussalam (30, Malaysia (63) bahkan negara kita kalah dengan filipina yang
berada di posisi 90. Sementara itu Vietnam juga sudah mulai memperbaiki
posisinya (105) dan bukan tidak mungkin akan menyodok Indonesia.
Kemiskinan, Ketimpangan dan Pengangguran
Di Indonesia tingkat kemiskinan hampir
merata terjadi disetiap provinsi. Pada awal-awal tahun 1990-an, tingkat
kemiskinan terparah terjadi di Provinsi Kalimantan Barat yakni sebesar 27,6
persen, kemudian diikuiti oleh NTT sebesar 24,1 persen dan NTB sebesar 23,2
persen. Sementara itu tingkat kemiskinan paling rendah terdapat di DKI Jakarta
yakni sebesar 7,8 persen, kemudian diikuti oleh Provinsi Sulawesi Selatan
sebesar 10,8 persen dan Bali sebesar 11,2 persen (Pada tahun tersebut, laporan
tidak tersedia bagi Provinsi Papua). Setelah satu dasawarsa lebih, terjadi
perubahan dibeberapa daerah persentase tingkat kemiskinan. Prestasi luar biasa
dicapai oleh Provinsi yang berada di Pulau Kalimantan, dimana tingkat
kemiskinan diawal tahun 1990-an berada di atas angka 20 persen, pada SUSENAS
tahun 2015 angka kemiskinan turun dratis dibawah 10 persen, bahkan ada dua provinsi
di Pulau Kalimantan yaitu Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan
berhasil menekan angka kemiskinan masing 5,94 persen dan 4,99 persen. Namun,
ada beberapa provinsi yang hanya sedikit mangalami perubahan angka garis
kemiskinan dan bahkan ada yang justru bertambah tinggi angka garis kemiskinan
seperti provinsi NAD.
Dari data SUSENAS tersebut juga
terlihat indeks kedalaman kemisninan (P1) dan indeks
keparahan kemiskinan (P2). indeks kedalaman kemisninan (P1)
menunjukkan bahwa rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap
batas miskin (Garis Kemiskinan yang berlaku di suatu Negarea). Sedangkan indeks
keparahan kemiskinan (P2) menunjukkan ketimpangan pengeluaran
dari penduduk yang paling miskin atau yang makin jauh dari garis kemiskinan
yang berlaku. Dari tersebut terlihat bahwa kesenjangan pengeluaran hampir
merata di setiap Pulau di Indonseia, dimana tingkat keparahan terjadi di Pulau
Papua.
Tingkat kemiskinan yang berbeda pada
setiap provinsi disebabkan oleh banyak hal seperti laju pertumbuhan ekonomi,
tingkat inflasi, keterbukaan terhadap investasi dan lain-lain. Pertumbuhan
ekonomi merupakan penyumbang terbesar didalam mengentaskan kemiskinan. Salah
Satu toal ukur pertumbuhan ekonomi adalah Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB). Sebagaimana dalam laporan BPS Pada triwulan II 2016, Pulai Jawa masih
merupakan penyumbang PDB terbesar secara Nasional yakni sebesar 58,81 persen,
kemudian diikuti oleh Pulau Sumatera sebesar 22,02 persen, Pulau Kalimantan
sebesar 7,61 persen, Pulau Sulawesi 6,08 persen dan sisanya 5,48 persen di
pulau-pulau lainnya.
Selain kemiskinan, ketimpangan ekonomi
juga melanda disebagian besar wilayah Indonesia. Ketimpangan ekonomi ini
disebabkan oleh tidak meratanya distribusi pendapatan. Kenyataan menunjukkan
bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak mencerminkan distribusi kekayaan
yang merata, apalagi jurang pemisah antara orang yang kaya dengan orang yang
miskin cukup tinggi. Hal ini dibuktikan dengan masih tingginya angka Gini Ratio
di Indonesia. Sesuai dengan laporan BPS, pada bulan Maret 2016, Indeks Gini
Rasio Indonesia mencapai angka 0,397, artinya saat ini satu persen kelompok
orang kaya menguasai 39,7 persen aset nasional. Angka-angka tersebut
menunjukkan bahwa distribusi kekayaan dari pertumbuhan ekonomi yang terjadi
tidak tersebar merata dan hanya dikuasai oleh sekolompok orang saja.
Mengapa hal ini bisa terjadi ? Salah
satu penyebab ini semua adalah pola investasi disuatu daerah. Jika pola
investasi yang dikembangkan adalah padat tenaga kerja yang akan menciptakan
kesempatan kerja maka distribusi pendapatan juga akan merata. Akan tetapi jika
pola investasi tersebut bersifat padat modal, maka akan terjadi ketimpangan
pendapatan ditengah-tengah masyarakat karena kekayaan akan menumpuk pada
segelintir orang yang mempunyai banyak modal. Kondisi seperti inilah yang
menjadi penyebab angka kemiskinan sulit untuk direduksi.
Salah satu dimensi dari Indek
Pembanguan Manusia (IPM) yang memberikan kontribusi yang besar terhadap
pembangunan manusia di Indonesia adalah standar hidup layak. Standar hidup
layak bisa diperoleh manakala ia mendapatkan penghasilan yang layak pula.
Pendapatan yang layak bisa mereka peroleh manakala ia memperoleh kesempatan
kerja. Namun peluang bekerja bagi para pencari kerja ditanah air tidak
sebanding dengan ketersediaan pekerjaan bagi mereka.
Berdasarkan laporan BPS, tingkat
pengangguran pada tahun 2016 cenderung mengalami kenaikan. Pada Februari 2016,
tingkat pengangguran terbuka mencapai 5,50 persen, namun pada bulan September
2016 tingkat pengangguran mengalami kenaikan menjadi 5,61 persen. Dipulau
Sumatera, tingkat pengangguran tertinggi berada di Provinsi Termuda yaitu
Povinsi Kepulauan Riau sebesar 7,69 persen dan kedua ditempati oleh Provinsi
NAD yakni sebesar 7,57 persen. Sementara itu, secara Nasional Provinsi dengan
tingkat pengangguran tertinggi adalah Provinsi Banten yakni mencapai 8,92
persen.
Kondisi seperti ini diperparah oleh
kebijakan pemerintah yang kurang
berpihak pada masyarakat miskin (pro-poor) dan pengangguran (unemployment),
hal ini diperlihatkan dengan banyaknya investasi asing di dalam negeri akan
tetapi tidak memberikan kesempatan bekerja bagi penduduk setempat, yang terjadi
justru tenaga asing illegal yang berasal dari negara PMA tersebut. Kondisi ini
hampir terjadi diseluruh wilayah Indonesia, dimana setiap ada PMA maka hanya
sedikit kesempatan kerja yang diberikan pada penduduk lokal, yang akses terhadap
pekerjaan yang memang kurang bagus. Hal ini akan memperparah tingkat
ketimpangan dan kemiskinan di wilayah tersebut.
Momentum Pilkada
Pada tanggal 15 Februari 2017 nanti,
akan diadakan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) secara serentak diseluruh Indonesia.
Ini menjadi momentum yang tepat bagi para calon kepala daerah untuk memaparkan
program-program unggulannya. Program-program tersebut haruslah program yang
langsung bisa menyentuh kebutuhan masyarakat miskin (pro-poor), lebih
mengutamakan pemerataan pedapatan ketimbang mengejar pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi akan terasa hambar manakala distribusi pendapatan tidak
tersebar dengan baik dan adil.
Sebaliknya, ini juga bisa menjadi kesempatan bagi pemilih untuk memilih
calon kepala daerah yang bisa memberikan harapan baru bagi pembangunan
daerahnya. Salah satu perubahan yang sangat diharapkan oleh masyarakat adalah
meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
Oleh karenanya masyarakat harus cerdas
didalam memilih calon pemimpinnya, sebab jika salah memilih maka akan menderita
selama lima tahun kedepan. Bagi masyarakat yang berasal dari daerah dimana
tingkat penganggurannya tinggi, kemiskinannya juga masih tinggi serta
pertumbuhan ekonomi yang cenderung melambat bahkan menurun (ini terjadi pada
daerah yang hanya mengandalkan PAD dari satu atau dua sektor saja sebagai
komponen utama, misalnya Kabupaten Siak dan Kabupaten Bengkalis di Provinsi
Riau - penghasil migas - yang pertembuhan ekonominya – PDRB -
selalu minus tiga tahun belakangan), maka yang harus diperhatikan adalah apa
program kerja bagi calon Kepala Daerah untuk mengatasi masalah tersebut.
Pilihlah calon kepada daerah yang
memberikan program atas permasalahan tersebut yang bisa diukur dan secara
logika bisa diwujudkan, bukan calon kepala daerah yang memberikan jawaban yang
serba normatif, sulit diukur dan dipertanggungjawabkan. Bagi sebagian besar
masyarakat kita yang tingkat pendidikannya masih rendah, kemampuan memahami
permasalahan juga rendah, mereka akan cenderung memilih pemimpin yang lebih
terkenal, baik terkenal karena calon kepala daerah itu memang mempunyai track
record yang bagus maupun terkenal karena ia populer.
Ingatlah bahwa seseorang yang populer
belum tentu ia mampu menjawab problematikan ummat khususnya masalah kemiskinan
dan pengangguran. Menjadi catatan khusus disini adalah Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam (NAD), Provinsi ini merupakan Provinsi dimana tingkat kemiskinan
paling parah di Pulau Sumatera yakni sebesar 17,8% dengan angka garis
kemiskinan sebesar IDR. 390.150 dan tingkat pengganggurannya juga tertinggi
kedua di Pulau Sumatera. Sementara itu, Provinsi paling timur di Indonesia
yakni Papua masih merupakan Provinsi paling miskin di Indonesia dimana tingkat
kemiskinannya mencapai 28,17% dengan angka garis kemiskinannya sebesar
IDR.402.031. Padahal kedua provinsi ini memiliki keistimewaan khusus
dibandingkan provinsi lainnya, maka mereka harus bisa membuktikan bahwa mereka
memang spesial dan bisa memegang kepercayaan yang sudah diberikan kepada
mereka. Olehkarenanya, penting bagi pemilih untuk mengetahui calon pemimpin
yang akan mereka pilih, yang bisa merealisasikan program-programnya terutama
program yang pro-kemiskinan dan pro-pembangunan bukan pemimpin yang gemar
memberikan harapan palsu!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar